Langsung ke konten utama

Smt 1 Al-Qur'an Munasabah Al-Qur'an



A.     

MUNASABAH AL-QURAN

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas kelompok

Mata Kuliah Al-Quran

Dosen Pengampu : Siti Khusniyah Sururiah M.Pd






Di susun Oleh:

1)      Irwan Asnawi
2)      Inggar Yosi Randra
3)      Istinganah


SEMESTER IB


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NAHDLATUL ULAMA
PURWOREJO 2015


BAB I

PENDAHULUAN

A.LATAR BELAKANG

Allah SWT memberikan berkahsuatu kelebihan kepada umat manusia berupa akal pikiran, agar menjalankan tugas dan misinya sebagai kholifatullah fil ardhi.Juga karena kasih dan sayang-Nya kemudian Allah menurunkan wahyu berupa Al-Quran melalui malaikat Jibril kepada nabi Muhammad SAW untuk dijadikan referensi dalam kehidupan.
Sejak Tuhan  "berbicara" itulah maka islam lahir sebagai agama, bukan hanya sebagai fakta historis, melainkan sebuah kehadiran Tuhan dalam bentuk "kalam".
Al-Quran mempunyai makna yang sangat dalam di beberapa ayatnya, sehingga membutuhkan beberapa ahli tafsir untuk memaknainya.Termasuk dalam mempelajari ilmu munasabah Al-Quran, yang di dalamnya mengaitkan keterkaitan antara ayat satu dengan ayat yang lain.

RUMUSAN MASALAH
1.         Bagaimana pengaruh ilmu munasabah dalam penafsiran al-qur’an?
2.         Bagaimana urgensi ilmu munasabah?
B.       TUJUAN PENULISAN
1.         Untuk mengetahui pengertian ilmu munasabah
2.         Untuk mengetahui pendapat ulama tentang ilmu munasabah
3.         Untuk mengetahui klasifikasi ilmu munasabah
4.         Untuk mengetahui pentingnya ilmu munasabah







BAB II
PEMBAHASAN


1.PENGERTIAN ILMU MUNASABAH
Munasabah berasal dari kata ناسب يناسب مناسبة  yang berarti dekat, serupa, mirip, dan rapat. المناسبة  sama artinya dengan المقاربة  yakni mendekatkannya dan menyesuaikannya.; النسيب  artinya  القريب المتصل  (dekat dan berkaitan). Misalnya, dua orang bersaudara dan anak paman. Ini terwujud apabila kedua-duanya saling berdekatan dalam artian ada ikatan atau hubungan antara kedua-duanya. An-Nasib juga berarti Ar-Rabith, yakni ikatan, pertalian, hubungan.[4]
Menurut perngertian para ULAMA’, munasabah dapat didefinisikan sebagai berikut :
e.         Al-Zarkasyi
Menurut Al-Zarkasyi, munasabah adalah mengaitkan bagian-bagian permulaan ayat dan akhirnya, mengaitkan lafadz umum dan lafadz khusus, atau hubungan antar ayat yang terkait dengan sebab akibat, ‘illat, dan ma’lul. Kemiripan ayat, pertentangan (ta’arudh) dan sebagainya. Lebih lanjut dia mengatakan bahwa kegunaan ilmu ini adalah “menjadikan bagian-bagian kalam saling berkait sehingga penyusunannya seperti bangunan yang kokoh yang bagian-bagiannya tersusun harmonis”.
f.         Al-Qaththan
Munasabah adalah menghubungkan antara jumlah dengan jumlah dalam suatu ayat, atau antara ayat dengan ayat pada sekumpulan ayat, atau antar surah dengan surah.
g.        Ibnu Al-Farabi
Munasabah adalah keterkaitan ayat-ayat Al-Qur’an sehingga seolah-olah satu ungkapan yang mempunyai satu kesatuan makna dan keteraturan redaksi.
h.        Al-Biqa’i
Munasabah adalah suatu ilmu yang mencoba mengetahui alsan-alasan dibalik susunan atau urutan bagian-bagian Al-Qur’an, baik ayat dengan ayat ataupun surat dengan surat.
 
Secara terminologi (istilah) munasabah didefinisikan sebagai ilmu yang membahas hikmah korelasi urutan ayat Al-Qur’an atau dalam redaksi yang lain, dapat dikatakan munasabah adalah usaha pemikiran manusia dalam menggali rahasia hubungan antar ayat dengan ayat atau antar surah dengan surah yang dapat diterima oleh rasio, dengan demikian ilmu ini diharapkan dapat menyingkap rahasia illahi, sekaligus sanggahan-Nya terhadap mereka yang meragukan keberadaan Al-Qur’an sebagai wahyu.
Rumusan lain mengatakan bahwa, munasabah adalah ilmu yang menjelaskan persesuaian antara ayat dengan ayat atau antar surah dengan surah lain, sehingga dapat diketahui alasan penertiban ayat-ayat dan atau surah-surah dalam Al-Qur’an tersebut.
Berdasarkan pengertian diatas dapat dikatakan bahwa ilmu al-munasabah adalah bersifat ma’qul (rasional), sesuai dengan ungkapan.
Munasabah adalah suatu hal yang rasional , apabila dihadapkan pada akal niscaya dia akan menerimanya. Atas dasar itulah-sebagaimana telah dikemukakan diatas-ilmu ini berupaya menjelaskan segi-segi korelasi antar ayat-ayat dan antar surah-surah dalam Al-Qur’an, baik korelasi itu berupa ikatan antara yang ‘am (umum) dengan yang khas (khusus), antara yang abstrak dengan yang kongkrit, antara sebab dengan akibat antara ‘illat dengan ma’lulnya, antara yang rasional dengan yang irrasional, atau bahkan antara dua hal yang kontradiktif.
Jika ayat-ayat itu hanya dilihat sepintas, memang seperti tidak ada hubungan sama sekali  antara ayat ayat yang satu dengan ayat yang lain, baik dengan yang sebelumnya, maupun dengan ayat yang sesudahnya. Karena itu, tampaknya ayat-ayat itu seolah-olah terputus dan terpisah yang satu dari yang lain, seperti tidak ada kontaknya sama sekali. Tetapi kalau diamati secara teliti, akan tampak adanya munasabah atau kaitan yang erat antara yang satu dengan yang lain.
Jadi pengertian munasabah itu tidak hanya sesuai dalam arti yang sejajar dan parallel saja. Melainkan yang kontradiksipun termasuk munasabah, seperti sehabis menerangkan orang mukmin lalu orang kafir dan sebagainya. Sebab ayat-ayat al-Qur’an itu kadang-kadang merupakan takhsish (pengkhususan) dari ayat-ayat yang umum. Dan kadang-kadang sebagai penjelasan yang konkret terhadap hal-hal yang abstrak.
Karena itu ilmu munasabah merupakan ilmu yang penting, karena ilmu itu bisa mengungkapkan rahasia kebalaghahan Al-Qur’an dan menjangkau sinar petunjuknya.
2.         TENTANG ILMU MUNASABAH
Ilmu munasabah yang juga disebut dengan “Tanasubil Aayati Wassuwari” pertama kali di cetus oleh  Imam Abu Bakar An-Naisaburi (wafat tahun 324 H), Kemudian disusul oleh Abu Ja’far ibn Zubair yang mengarang kitab “Al-Burhanu fi Munasabati Suwaril Qur’ani” dan diteruskan oleh Burhanuddin Al-Buqai yang menulis kitab “Nudzumud Durari fi Tanasubil Aayati Wassuwari” dan As-Suyuthi yang menulis kitab “Asraarut Tanzilli wa Tanaasuqud Durari fi Tanaasubil Aayati Wassuwari” serta M. Shodiq Al-Ghimari yang mengarang kitab “Jawahirul Bayani fi Tanasubi Wassuwari Qur’ani”.
Pada bagian ini muncul pertanyaan, apakah ilmu munasabah itu ada atau tidak?, dari pertanyaan ini muncul dua pendapat yang berbeda sebagai jawabannya. 
Pertama, pihak yang mengatakan secara pasti pertalian yang erat antara surat dengan surat dan antara ayat dengan ayat (munasabah). Pihak ini diwakili oleh As-Syaikh ‘Izz Ad-Din Ibn ‘Abd As-Salam atau ‘Abd Al-‘Aziz Ibn, Abd As-Salam (577-600 H).
Menurut aliran ini, munasabah adalah ilmu yang mensyaratkan bahwa baiknya kaitan pembicaraan (الكلام ارتبط ) itu bila antara permulaan dan  akhiranya terkait menjadi satu. Apabila hubungan itu terjadi dengan sebab yang berbeda-beda, tidaklah diisyaratkan adanya pertalian salah satunya dengan yang lain.
Kalau Al-Munasabah ditinjau secara terminologis, dalam hal ini munasabah bisa berarti suatu pengetahuan yang di peroleh secara Aqli dan bukan  di peroleh secara tauqifi. Dengan demikian, akallah yang berusaha mencari dan menemukan hubungan-hubungan, pertalian, atau keserupaan antara sesuatu itu. Demikian Az-Zarkasyi mengemukakan pendapatnya tentang persoalan munasabah.
Pendapat lain yang mengatakan adanya munasabah dalam Al-Quran juga dikemukakan oleh Mufassir, diantaranya As-Syuyuti, Al-Qaththan, Fazlurrahman Dll.
Pihak keduamengatakan bahwa tidak perlu ada munasabah ayat, sebab pristiwa-pristiwa tersebut  saling berlainan. Al-Quran disusun dan diturunkan serta diberi hikmah secara tauqifi dan tersusun atas petunjuk Allah.
Terlepas dari kedua pendapat diatas, munasabah merupakan bagian tak terpisahkan dari ulumul qur’an. Apakah adanya munasabah itu ijtihadi atau tauqifi barangkali akan dijawab ketika kita telah memperhatikan tentang kaitan ayat dengan ayat atau surat dengan surat.
3.         CARA MENGETAHUI MUNASABAH
Munasabah bersifat ijtihadi, artinya pengetahuan tentang munasabah ditetapkan berdasarkan ijtihad karena tidak ditemukan riwayat baik dari Nabi SAW maupun para sahabatnya. Sehingga tidak ada keharusan mencari munasabah pada setiap ayat. Alasannya Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur mengikuti berbagai kejadian dan peristiwa yang ada.
Menurut Syekh Izzudin bin Abdus-Salam bahwa seorang mufassir terkadang menemukan keterkaitan suatu ayat dengan yang lainnya, tetapi terkadang tidak. Jika tidak menemukan keterkaitan, mufassir tidak diperkenankan memaksakan diri, karena jika memaksakan berarti mengada-adakan apa yang tidak dikuasainya. Jadi dalam hal ini dibutuhkan ketelitian dan pemikiran yang mendalam.
As-Suyuthi menjelaskan ada beberapa langkah yang diperhatikan untuk meneliti keserasian susunan ayat dan surah dalam Al-Qur’an, yaitu:
a)         Memperhatikan tujuan pembahasan suatu surah yang menjadi objek pencarian.
b)        Memperhatikan uraian ayat-ayat yang sesuai dengan tujuan yang dibahas dalam surah.
c)        Menentukan tingkatan uraian-uraian itu, apakah ada hubungannya atau tidak.
d)       Dalam mengambil kesimpulan, harus memperhatikan ungkapan-ungkapan bahasanya dengan benar dan tidak berlebihan.[2]

4.         MACAM-MACAM MUNASABAH
Ø  Ditinjau dari sifatnya, munasabah terbagi menjadi duabagian, yaitu :  a.) zhahirul irtibath, yang artinya munasabah ini terjadi karena bagian al-Qur’an yang satu dengan yang lain nampak jelas dan kuat disebabkan kuatnya kaitan kalimat yang satu dengan yang lain. Deretan beberapa ayat yang menerangkan sesuatu materi itu terkadang, ayat yang satu berupa penguat, penafsir, penyambung, penjelas, pengecualian, atau pembatas dengan ayat yang lain. Sehingga semua ayat menjadi satu kesatuan yang utuh dan tidak terpisahkan. Sebagai contoh, adalah hubungan antara ayat 1 dan 2 dari surat al-Isra’, yang menjelaskan tentang di-isra’-kannya Nabi Muhammad saw, dan diikuti oleh keterangan tentang diturunkannya Tarurat kepada Nabi Musa as. Dari kedua ayat tersebut nampak jelas bahwa keduanya memberikan keterangan tentang diutusnya nabi dan rasul.
b.) khafiyul irtibath, artinya munasabah ini terjadi karena antara bagian-bagian al-Qur’an tidak ada kesesuaian, sehingga tidak tampak adanya hubungan di antara keduanya, bahkan tampak masing-masing ayat berdiri sendiri, baik karena ayat yang dihubungkan dengan ayat lain maupun karena yang satu bertentangan dengan yang lain.
Khafiyul irtibath terdapat dua model, yaitu :
1.        Hubungan yang ditandai dengan huruf ‘athaf, sebagai contoh, terdapat dalam surat al-Ghosyiyah ayat 17-20
أَفَلَا يَنْظُرُونَ إِلَى الْإِبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ (17) وَإِلَى السَّمَاءِ كَيْفَ رُفِعَتْ (18) وَإِلَى الْجِبَالِ كَيْفَ نُصِبَتْ (19) وَإِلَى الْأَرْضِ كَيْفَ سُطِحَتْ (20)
 “Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana diciptakan. Dan langit, bagaimana ditinggikan. Dan gunung-gunung, bagaimana ditegakkan. Dan bumi, bagaimana dihamparkan.”
Jika diperhatikan, ayat-ayat tersebut sepertinya tidak terkait satu dengan yang lain, padahal hakekatnya saling berkaitan erat. Penyebutan dan penggunaan kata unta, langit, gunung, dan bumi pada ayat-ayat tersebut berkaitan erat dengan kebiasaan yang berlaku di kalangan lawan bicara yang tinggal di padang pasir, di mana kehidupan mereka sangat tergantung pada ternak (unta), namun keadaan tersebut tak kan bisa berlangsung kecuali dengan adanya air yang diturunkan dari langit untuk menumbuhkan rumput-rumput di mana mereka mengembala, dan mereka memerlukan gunung-gunung dan bukit-bukit untuk berlindung dan berteduh, serta mencari rerumputan dan air dengan cara berpindah-pindah di atas hamparan bumi yang luas.
2.        Hubungan yang tidak menggunakan huruf ‘athaf. Dalam hal ini tidak ada ma’thufah dapat dicari hubungan maknawiyah-nya, seperti hubungan sebab akibat. Ada tiga bentuk, yaitu ;
a.          التنظير (berhampiran/berserupaan)
Misalnya ayat 4 dan 5 surat Al-Anfal(8) :
أُولَئِكَ هُمُ حَقًّا لَهُمْ دَرَجَاتٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَمَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ (٤)كَمَا أَخْرَجَكَ رَبُّكَ مِنْ بَيْتِكَ الْمُؤْمِنُونَ بِالْحَقِّ وَإِنَّ فَرِيقًا مِنَ الْمُؤْمِنِينَ لَكَارِهُونَ (٥)
Huruf al-kaf (كَ) pada ayat lima berfungsi sebagai pengingat dan sifat bagi fi’il yang tersembunyi (مضمر فعل ). Hubungan itu tampak dari jiwa itu. Maksud ayat itu, Allah menyuruh untuk mengerjakan urusan harta rampasan, seperti yang kalian lakukan pada perang badar meskipun kaummu membenci cara demikian itu. Allah SWT menurunkan ayat ini agar kaum Nabi Muhammad SAW mengingat nikmat yang telah diberikan Allah dengan diutusnya Rasul dari kalangan mereka (surat Al-Baqarah :151)  كَمَا أَرْسَلْنَا فِيكُمْ رَسُولا مِنْكُمْ, sebagai mana juga kaummu membencimu (Rasul) ketika engkau mengajak mereka keluar dari rumah untuk berjihad. Hubungan ini terjadi dengan ayat yang jauh sebelumnya.
b.         الاستطراد (pindah ke perkataan lain yang erat kaitannya)
Misal-nya surat Al-A’raaf ; 26, tentang pakaian takwa lebih baik. Allah  menyebutkan pakaian itu untuk mengingatkan manusia bahwa pakain penutup aurat itu lebih baik. Pakain berfungsi sebagai alat untuk memperbagus apa yang telah Allah ciptakan. Pakaian adalah penutup aurat dan kebejatan karena membuka aurat adalah hal yang jelak dan bejat. Sedangkan penutup aurat adalah pintu takwa.
c.          المضادة(perlawanan)
Misalnya surat Al-Baqarah (2); 6 :
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا سَوَاءٌ عَلَيْهِمْ ءَأَنْذَرْتَهُمْ أَمْ لَمْ تُنْذِرْهُمْ لا يُؤْمِنُونَ (٦)
Artinya; Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan beriman.
Allah tidak memberi petunjuk kepada mereka yang kafir itu. Ayat ini berlawanan dengan ayat-ayat sebelumnya yang menyebutkan tentang kitab, orang mukmin, dan petunjuk. Hal ini berkaitan dengan ayat 23 surat Al-Baqarah ;
وَإِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنَا عَلَى عَبْدِنَا فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ مِثْلِهِ وَادْعُوا شُهَدَاءَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ (٢٣)
Adapun hikmahnya adalah agar mukmin merindukan dan memantapkan iman berdasarkan petunjuk Allah SWT .
Ø  Munasabah ditinjau dari materinya.
Pada garis besarnya munasabah itu menyangkut pada dua hal, yaitu hubungan antara ayat dengan dan hubungan surat dengan surat.                                       Dua pokok hubungan itu di perincian sebagai berikut:
a.         Hubungan ayat dengan ayat, meliputi :
1.         Hubungan kalimat dengan kalimat dalam satu ayat
2.         Hubungan ayat dengan ayat alam satu surat
b.        Hubungan surat dengan surat
1.         Hubungan antara awal surat dengan akhir surat
2.         Hubungan satu surat dengan surat setelahnya atau sebelumnya
3.         Munasabah Antara Nama Surat dengan Kandungan Isinya.

v  Hubungan kalimat dengan kalimat dalam satu ayat
Fakhruddin Ar-Razi menyatakan bahwa “kehalusan / kelembutan” Al-Quran terletak pada keserasian tata urut dan hubungan-nya. Sebagian ulama lain menyatakan bahwa sebaik-baiknya pembicaraan adalah yang bagian satu berkaitan dengan bagian lain sehingga tak terputus. Shubhi As-Shaleh. menegaskan bahwa bahwa para ulama mensyaratkan adanya  munasabah dalam ayat itu apabila dua ayat atau lebih itu saling berhampiran.[3]
Hubungan antara ayat dengan ayat itu tidak selalu ada pada semua ayat Al-Quran. Ayat yang satu dengan ayat lain adakalanya muncul secara jelas Misal-nya surat Al-A’raaf ; 26, tentang pakaian takwa lebih baik. Allah  menyebutkan pakaian itu untuk mengingatkan manusia bahwa pakain penutup aurat itu lebih baik. Pakain berfungsi sebagai alat untuk memperbagus apa yang telah Allah ciptakan. Pakaian adalah penutup aurat dan kebejatan karena membuka aurat adalah hal yang jelak dan bejat. Sedangkan penutup aurat adalah pintu takwa.
v  Hubungan ayat dengan ayat dalam satu surat
Munasabah ayat dengan ayat sering terlihat jelas, tetapi sering pula tidak jelas. Munasabah ayat dengan ayat yang terlihat jelas sering menggunakan pola ta’kid (penguat), tafsir (penjelas), i’tiradh (bantahan), dan tasydid (penegasan)
a)    Munasabah yang menggunakan pola ta’kid yaitu apabila salah satu ayat atau bagian ayat memperkuat makna ayat atau bagian ayat yang terletak di sampingnya. Contoh Ayat 1 dan 2 pada surah Al-Fatihah: Ungkapan “rabb al-alamin” pada ayat kedua memperkuat kata “al-rahman” dan “al-rahim” pada ayat pertama.
b)    Munasabah ayat dengan ayat yang menggunakan pola tafsir, apabila suatu ayat atau bagian ayat tertentu ditafsirkan maknanya oleh ayat atau bagian ayat di sampingnya. Contoh ayat 2 dan 3 pada surah Al-Baqarah: Makna “muttaqin” pada ayat kedua ditafsirkan oleh ayat ketiga. Dengan demikian, orang yang bertakwa adalah orang yang mengimani hal-hal yang ghaib, mengerjakan sholat dan seterusnya.
c)    Munasabah ayat dengan ayat yang menggunakan pola i’tiradh apabila terletak satu kalimat atau lebih tidak terlihat ada kedudukannya dalam i’rab (struktur kalimat), baik di pertengahan atau di antara dua kalimat yang berhubungan maknanya. Contoh Surah An-Nahl ayat 57:
Kata ”subhanahu” pada ayat di atas merupakan bentuk i’tiradh (bantahan) dari dua ayat yang mengantarinya. Kata itu merupakan bantahan bagi klaim orang-orang kafir yang menetapkan anak perempuan bagi Allah.
Munasabah ayat dengan ayat menggunakan pola tasydid, apabila satu ayat atau bagian ayat mempertegas arti ayat yang terletak di sampingnya. Contoh Surah Al-Fatihah ayat 6-7: Ungkapan “shiroth al-mustaqim” pada ayat 6 dipertegas oleh ungkapan “shirathalladzina......”. Antara kedua ungkapan yang saling memperkuat itu terkadang ditandai dengan huruf athaf (langsung) dan terkadang pula tidak diperkuat olehnya.
Adapun munasabah ayat dengan ayat dalam satu surah yang tidak jelas, dapat dilihat melalui qara’in ma’nawiyyah (hubungan makna). Hal ini terlihat dalam empat pola munasabah yaitu At-Tanzir (perbandingan), Al-Mudhadat (perlawanan), istithrad (penjelasan lebih lanjut) dan At-Takhallush (perpindahan).
v  Hubungan Awal Dengan Akhir Surat
Dalam kitab Al-Itqan, As-Syuyuti memberikan contoh-contoh tentang hubungan awal uraian dan akhir uraian suatu surat. Hubungan ini tidak berdasarkan riwayat tertentu, tetapi merupakan telaah pemikiran logis dari kandungan yang termakhtub dalam ayat-ayat itu. Berikut ini adalah contoh yang menunjukkan hubungan tersebut :
Awal surat dan akhir surat Al-Qhasash (28). Surat Al-Qasash dengan kisah Nabi Musa dengan Fira’un yang termuat dalam ayat 3 dan 4 misalnya, dan berakhir  dengan uraian tentang keadaan yang dihadapi Nabi Muhammad. Nabi Musa pada mulanya menghadapi Fira’un yang kuat, namun kemudian pada akhirnya menemukan kemenangan dari cengkeraman Fira’un. Sementara di akhir surat memberikan kabar gembira kepada Nabi Muhammad yang menhadapi tekanan dari kaumnya, Muhammad pun memperoleh kemenangan juga, yaitu Fath Makkah pada tahun VIII hijrah. Dalam kisah ini kita memperoleh gambaran tentang adanya kesamaan keadaan dan proses yang dihadapi antara Nabi Musa dab Nabi Muhammad SAW. Contoh lain juga ada pada surat Al-Mukminun (23) dan surat Shad (38).
v  Hubungan satu surat dengan surat setelahnya atau sebelumnya
Misalnya akhir surat al-Waqi’ah / 96 :
فسبح باسم ربك العظيم
“Maka bertasbihlah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Maha Besar”.
Lalu surat berikutnya, yakni surat al-Hadid / 57 : 1 :
سبح الله ما في السموات والأرض وهو الزيز الحكيم

“Semua yang berada di langit dan di bumi bertasbih kepada Allah (menyatakan kebesaran Allah). Dan Dia-lah Maha Kuasa atas segala sesuatu”.
v  Munasabah Antara Nama Surat dengan Kandungan Isinya
Nama satu surat pada dasarnya bersifat tauqifi (tergantung pada petunjuk Allah dan Nabi-Nya). Namun beberapa bukti menunjukkan bahwa suatu surat terkadang memiliki satu nama dan terkadang dua nama atau lebih. Tampaknya ada rahasia dibalik nama tersebut. Para ahli tafsir sebagaimana yang dikemukakan oleh as-Suyuthi melihat adanya keterkaitan antara nama-nama surat dengan isi atau uraian yang dimuat dalam suatu surat. Kaitan antara nama surat dengan isi ini dapat di identifikasikan sebagai berikut :
a.    Nama diambil dari urgensi isi serta kedudukan surat. Nama surat al-Fatihah disebut dengan umm al-Kitab karena urgensinya dan disebut dengan al-Fatihah karena kedudukannya.
b.    Nama diambil dari perumpamaan , peristiwa, kisah atau peran yang menonjol, yang dipaparkan pada rangkaian ayat-ayatnya; sementara di dalam perumpamaan, peristiwa, kisah atau peran itu sarat dengan ide. Di sini dapat disebut nama-nama surat : al-‘Ankabut, al-Fath, al-Fil, al-Lahab dan sebagainya.
c.    Nama sebagai cerminan isi pokoknya, misalnya al-Ikhlas karena mengandung ide pokok keimanan yang paling mendalam serta kepasrahan : al-Mulk mengandung ide pokok hakikat kekuasaan dan sebagainya.
d.    Nama diambil dari tema spesifik untuk dijadikan acuan bagi ayat-ayat lain yang tersebar diberbagai surat. Contoh al-Hajj (dengan spesifik tema haji), al-Nisa’ (dengan spesifik tema tentang tatanan kehidupan rumah tangga). Kata Nisa’ yang berarti kaum wanita adalah ring keharmonisan rumah tangga.
e.    Nama diambil dari huruf-huruf tertentu yang terletak dipermulaan surat, sekaligus untuk menuntut perhatian khusus terhadap ayat-ayat di dalamnya yang memakai huruf itu. Contohnya : Thaha, Yasin, Shad, dan Qaf.
KESIMPULAN
Pada garis besarnya munasabah itu menyangkut pada dua hal, yaitu hubungan antara ayat dengan ayat dan hubungan surat dengan surat. Dua pokok hubungan itu di perincian sebagai berikut:
1.         Hubungan ayat dengan ayat meliputi:
a.         Hubungan kalimat dengan kalimat dalam ayat.
b.        Hubungan ayat dengan ayat dalam satu surat.
c.         Hubungan penutup ayat dengan kandungan ayatnya.
2.         Hubungan surat dengan surat meliputi:
a.         Hubungan awal uraian dengan ahir uraian surat.
b.        Hubungan nama surat dengan tujuan turunnya.
c.          Hubungan surat dengan surat sebelumnya.
d.         Hubungan penutup surat terdahulu dengan awal surat berikutnya.
Empat fungsi utama dari Ilmu Al-Munasabah :
1.         Untuk menemukan arti yang tersirat dalam susunan dan urutan kalimat-kalimat, ayat-ayat, dan surah-surah dalam Al-Quran.
2.         Untuk menjadikan bagian-bagian dalam Al-Quran saling berhubungan sehingga tampak menjadi satu rangkaian yang utuh dan integral.
3.         Ada ayat baru dapat dipahami apabila melihat ayat berikutnya.
4.         Untuk menjawab kritikan orang luar (orientalis) terhadap sistematika Al-Quran.
Namun demikian yang perlu diperhatikan adalah bahwa munasabah termasuk kajian yang bersifat ijtihadi. Karena sifatnya ijtihadi, akhirnya muncul dua aliran yang berpendapat bahwa:
1.         Semua ayat/surah memiliki hubungan.
2.         Tidak semua ayat/surah memiliki hubungan. Terlepas dari kedua pendapat di atas, munasabah merupakan bagian tak terpisahkan dari Ulum al-Qur’an. Apakah adanya munasabah itu ijtihadi atau tawqifi, barangkali akan dapat dijawab ketika memperhatikan telah tentang kaitan ayat dengan ayat lain atau surah dengan surah



 


DAFTAR PUSTAKA

Shihab, M. QuraishMembumikan Al-Quran: fungsi dan peran wahyu dalam kehidupan masyarakat, Penerbit Mizan, Bandung 1994.
Syafe’i Rachmat,Pengantar Ilmu Tafsir, Penerbit Pustaka Setia, Bandung februari 2006.
Anwar Abu,Ulumul Qur’an Sebuah Pengantar, Penerbit Amzah, Oktober 2005.
Shihab, M. Quraish, Mukjizat al-Qur’an, cet.XIV, Bandung : Mizan, 2004
 Al-Qattan, Manna’ Khalil. Studi Ilmu-Ilmu Qur’an. Litera AntarNusa. Bogor. 201
As-Suyuti, Al-itqon fi ulumil qur’an, Maktabah dar At-turats, mesir 2010
Shubhi Al-Shalih, mubahis fi ‘Ulum Al-Quran, Penerbit Mizan, Bandung 2001













































[1]        Prof.Dr.H.Rahmat syafe’i MA, Pengantar Ilmu Tafsir, (pustaka setia) hlm. 37
[2]Jalaluddin as-suyuti, Asraarut Tanzilli wa Tanaasuqud Durari fi Tanaasubil Aayati Wassuwari, al-haromainHlm.139
[3]Shubhi Al-Shalih, mubahis fi ‘Ulum Al-Quran, hlm. 156
[4]        Prof.Dr.H.Rahmat syafe’i MA, Pengantar Ilmu Tafsir, (pustaka setia) hlm. 37

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Smt 5 Ushul fiqih Hakim hukum mahkum Fih Mahkum 'alaih

    HAKIM, HUKUM, MAHKUM FIIH, MAHKUM ‘ALAIH Makalah I ni D isusun G una M emenuhi T ugas K elompok Mata Kuliah :   Ushul Fiqih Dosen Pengampu :   Yusuf Effendi , M.Pd. Disusun Oleh: 1.      Kun Amiina                        (15120026) 2.      M. Lutfil Makin                  (15120036) Semester 5 B PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM JURUSAN TARBIYAH SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NAHDLATUL ULAMA PURWOREJO 2017 BAB I PENDAHULUAN A.     LATAR BELAKANG Di dalam agama Islam, dalam menjalankan kehidupan sehari-hari ini kita tidak pernah terlepas dari hukum-hukum syar’i. Hukum yang mengatur tentang perbuatan-perbuatan seo...

Smt 1 Psikologi Umum gejala Campuran

GEJALA CAMPURAN (PERHATIAN, KELELAHAN, SUGESTI DAN KELUPAAN) Paper Ini Disusun Guna Memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah : Psikologi Umum Dosen Pengampu : Akhid Lutfian, S.Pd, M.Pd Disusun Oleh (Kelompok 15) : Akmal Maulana Subchi Kun Amiina Pariyati Semester 1B PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM JURUSAN TARBIYAH SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NAHDLATUL ULAMA PURWOREJO 2015 PENDAHULUAN LATAR BELAKANG Berbicara tentang jiwa, terlebih dahulu kita harus dapat membedakan antara nyawa dan jiwa. Dimana nyawa adalah daya jasmanilah yang adanya tergantung pada hidup jasmani yaitu perbuatan yang ditimbulkan oleh proses belajar, misalnya insting, refleks dan nafsu. Sedangkan jiwa adalah daya hidup rohaniah yang menjadi penggerak dan penyalur bagi sekalian perbuatan pribadi. Pada umumnya manusia tak mungkin lepas dari kondisi lingkungan. Tanpa disadari kondisi lingkungan tersebut dapat mengakibatkan pergeseran atau terjadinya kejiwaan dan apabila manusi...

Smt 1 Al-Qur'an Jadal

BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Hakikat-hakikat yang sudah ada jelas nampak   dan   nyata   telah   dapat   disentuh   manusia,   dibeberkan   oleh   bukti-bukti   alam   dan   tidak   mememrlukan   lagi   argument lain untuk menetapkan   dalil   atas   kebenarannya. Namun   demikian, kesombongan   seringkali   mendorong   seseorang   untuk membangkitkan   keraguaan dan mengacu hakikat   tersebut   dengan   keracunan yang   dibungkus   dengan baju   kebenaran   serta   dihiasi   dengan cermin   akal.   Usaha   demikiaan   perlu    dihadapi dengan    hujjah agar   hakikat-hakikat   tersebut   mendapatkan   pengakuan   yang    semestinya,   dipercayai   atau malah   diingkari. Al-Qur an,    seru...