Langsung ke konten utama

Smt 1 MSI 1 Pendekatan dlm memahami Agama



PENDEKATAN DALAM MEMAHAMI AGAMA

Makalah ini disusun guna memenuhi tugas kelompok
Mata Kuliah: MSI 2
Dosen Pengampu: Sulis Rokhmawanto, S.Pd.I, M.S.I


stainupwrlogo.gif


Disusun Oleh :
                                        Nani Nur Setiawanti (15120055)
                                                    Siti Ahdiani
Semester: 2 B


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NAHDLATUL ULAMA
PURWOREJO
2016

BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Agama adalah wahyu yang diturunkan Tuhan untuk manusia. Fungsi dasar agama adalah memberikan orientasi, motivasi, dan membantu manusia untuk mengenal dan menghayati sesuatu yang sakral. Lewat pengalaman beragama (religious experience), yang penghayatan kepada Tuhan, manusia menjadi memiliki kesanggupan, kemampuan dan kepekaan rasa untuk mengenal dan memahami eksistensi sang illahi.
Dewasa ini kehadiran agama semakin dituntut agar ikut terlibat secara aktif di dalam memecahkan berbagai masalah yang dihadapi umat manusia. Agama tidak hanya sekedar menjadi lambang kesalehan atau berhenti sekedar disampaikan dalam khotbah, melainkan secara konsepsional menunjukkan cara-cara yang paling efektif dalam memecahkan masalah.
Berbagai pendekatan dapat digunakan untuk memahami agama, Hal ini perlu dilakukan karena melalui pendekatan tersebut kehadiran agama secara fungsional dapat dirasakan oleh penganutnya. Sebaliknya tanpa mengetahui berbagai pendekatan tersebut, tidak mustahil agama menjadi sulit dipahami oleh masyarakat, tidak fungsional, dan akhirnya masyarakat mencari pemecahan masalah kepada selain agama, dan hal ini tidak boleh terjadi.

B.       Rumusan Masalah
1.    Bagaimanakah pendekatan teologis normatif ?
2.    Bagaimanakah pendekatan antropologis ?
3.    Bagaimanakah pendekatan filosofis ?
4.    Bagaimanakah pendekatan historis ?
5.    Bagaimanakah pendekatan kebudayaan ?
6.    Bagaimanakah pendekatan psikologi ?

BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pendekatan Teologis Normatif
Pendekatan teologis normatif dalam memahami agama secara harfiah dapat diartikan sebagai upaya memahami agama dengan menggunakan Ilmu Ketuhanan yang bertolak dari suatu keyakinan bahwa wujud empirik dari suatu keagamaan dianggap sebagai yang paling benar dibandingkan dengan yang lainnya. Dan yang dimaksud dengan pendekatan itu sendiri adalah cara pandang atau paradigma yang terdapat dalam suatu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan dalam memahami agama.
Teologi, sebagaimana kita ketahui, tidak bisa tidak pasti mengacu pada agama tertentu. Loyalitas terhadap kelompok sendiri, komitmen dan dedikasai yang tinggi serta penggunaan bahasa yang bersifat subjektif, yakni bahasa sebagai pelaku bukan sebagai pengamat adalah merupakan ciri yang melekat pada bentuk pemikiran teologis. Karena sifat dasarnya yang partikularistik, maka dengan mudah kita dapat menemukan teologi Islam, teologi Kristen-Katolik, teologi Kristen-Protestan dan seterusnya. Dan jika diteliti lebih mendalam lagi, dalam interen umat beragama tertentu pun masih dapat dijumpai berbagai paham atau sekte keagamaan. Dalam Islam sendiri, secara tradisional, dapat dijumpai teologi Mu’tazilah, teologi Asy’ariyah, dan Maturidiyah. Menurut pengamatan Seyyed Hossein Nasr, dalam era kontemporer ini, setidaknya ada 4 prototip pemikiran keagamaan Islam, yaitu pemikiran keagamaan fundamentalis, modernis, misianis dan tradisionalis. Keempat proptip pemikiran keagamaan tersebut sudah barang tentu tidak mudah untuk disatukan dengan begitu saja. Masing-masing mempunyai “keyakinan” ideologi yang seringkali sulit untuk didamaikan. Mungkin kurang tepat menggunakan istilah “teologi” di sini, tetapi menunjuk pada gagasan pemikiran keagamaan yang terinspirisasikan oleh paham ketuhanan dan pemahaman kitab suci serta penafsiran ajaran agama tertentu adalah juga bentuk dari pemikiran teologi in the new fashion. [1]
Selain itu pendekatan teologi dalam pemahaman keagamaan adalah pendekatan yang menekankan pada bentuk forma atau simbol-simbol keagamaan yang masing-masing bentuk forma atau simbol-simbol keagamaan tersebut mengklaim dirinya sebagai yang paling benar sedangkan yang lainnya sebagai yang salah. Amin Abdullah mengatakan bahwa pendekatan teologi semata-mata tidak dapat memecahkan masalah esensial pluralitas agama saat sekarang ini. Terlebih-lebih lagi kenyataan demikian harus ditambahkan bahwa doktrin teologi, pada dasarnya memang tidak pernah berdiri sendiri, terlepas dari jaringan institusi atau kelembagaan sosial kemasyarakatan yang mendukung keberadaannya. Kepentingan ekonomi, sosial, politik, pertahanan selalu menyertai pemikiran teologis yang sudah mengelompok dan mengkristal dalam suatu komunitas masyarakat tertentu. Bercampur aduknya doktrin teologi dengan historisitas institusi sosial kemasyarakatan yang menyertai dan mendukungnya menambah peliknya persoalan yang dihadapi umat beragama. Tapi, justru keterlibatan institusi dan pranata sosial kemasyarakatan dalam wilayah keberagaman manusia itulah yang kemudian menjadi bahan subur bagi peneliti agama. Dari situ, kemudian muncul terobosan baru untuk melihat pemikiran teologi yang termanifestasikan dalam “budaya” tertentu secara lebih objektif lewat pengamatan empirik-faktual, serta pranata-pranata sosial kemasyarakatan yang mendukung keberadaannya.[2]
Pendekatan teologis dalam memahami agama menggunakan cara berpikir deduktif, yaitu cara berpikir yang berawal dari keyakinan yang diyakini benar dan mutlak adanya, karena ajaran yang berasal dari Tuhan, sudah pasti benar, sehingga tidak perlu dipertanyakan lebih dahulu melainkan dimulai dari keyakinan yang selanjutnya diperkuat dengan dalil-dalil dan argumentasi. Pendekatan teologis sebagaimana disebutkan di atas telah menunjukkan adanya kekurangan yang antara lain bersifat eksklusif, dogmatis, tidak mau mengakui kebenaran agama lain, dan sebagainya. Kekurangan ini dapat diatasi dengan cara melengkapinya dengan pendekatan sosiologis sebagaimana telah diuraikan diatas. Sedangkan kelebihannya, melalui pendekatan teologis normatif ini seseorag akan memiliki sikap militansi dalam beragama, yakni berpegang teguh kepada agama yang diyakininya sebagai yang benar, tanpa memandang dan meremehkan agama lainnya. Dengan pendekatan yang demikian seseorang akan memiliki sifat fanatis terhadap agama yang dianutnya.
Pendekatan teologis ini selanjutnya erat kaitannya dengan pendekatan normatif, yaitu suatu pendekatan yang memandang agama dari segi ajarannya yang pokok dan asli dari Tuhan yang di dalamnya belum terdapat penalaran pemikiran manusia. Dalam pendekata teologis ini agama dilihat sebagai suatu kebenaran mutlak dari Tuhan, tidak ada kekurangan sedikit pun dan tampak bersikap ideal. Dalam kaitan ini agama tampil sangat prima dengan seperangkat cirinya yang khas. Untuk agama islam misalnya, secara normatif basti benar, menjunjung nilai-nilai luhur. Untuk bidang sosial, agama tampil menawarkan nilai-nilai kemanusiaan, kebersamaan, kesetiakawanan, tolong-menolong, tenggang rasa, persamaan derajat dan sebagainya. Untuk bidang ilmu pengetahuan, agama tampil mendorong pemeluknya agar memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi yang setinggi-tingginya, menguasai keterampilan, keahlian dan sebagainya. Demikian pula untuk bidang kesehatan, lingkungan hidup, kebudayaan, politik dan sebagainya agama tampil sangat ideal dan yang dibangun berdasarkan dalil-dalil yang terdapat dalam ajaran agama yang bersangkutan.

B.       Pendekatan Antropologis
Pendekatan antropologis dalam memahami agama dapat diartikan sebagai salah satu upaya memahami agama dengan cara melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembag dalam masyarakat.  Melalui pendekatan ini agama tampak akrab dan dekat dengan masalah-masalah yang dihadapi manusia dan berupaya menjelaskan dan memberikan jawabannya. Dengan kata lain bahwa cara-cara yang digunakan dalam disiplin ilmu antropologi dalam melihat suatu masalah digunakan pula untuk memahami agama. Antropologi dalam kaitan ini sebagaimana dikatan Dawam Rahardjo, lebih mengutamakan pengamatan langsung, bahkan sifatanya partisipatif. Dari sini timbul kesimpulan-kesimpulan yang sifatnya induktif yang mengimbangi pendekatn deduktif sebagai mana digunakan dalam pengamatan sosiologis. Penelitian antropologis yang induktif dan grounded, yaitu turun ke lapangan tanpa berpijak pada, atau setidak-tidaknya dengan upaya membebaskan diri dari kungkungan teori-teori formal yang pada dasarnya sangat abstrak sebagaimana yang dilakukan dibidang sosiologi dan lebih-lebih ekonomi yang mempergunakan model-model matematis, banyak juga memberi sumbangan kepada penelitian historis.
Sejalan dengan pendekatan tersebut, maka dalam berbagai penelitian antropologi agama dapat ditemukan adanya hubungan positif antara kepercayaan agama dengan kondisi ekonomi dan politik. Golongan masyarakat yang kurang mampu dan golongan miskin pada umumnya, lebih tertarik pada gerakan-gerakan keagamaan yang bersifat mesianis, yang menjanjikan perubahan tatanan sosial kemasyarakatan. Sedangkan golongan orang kaya lebih cenderung untuk mempertahankan tatanan masyarakat yang sudah mapan secara ekonomi lantaran tatanan itu menguntungkan pihaknya. Karl Marx (1818-1883), sebagai contoh, melihat agama sebagai opium atau candu masyarakat tertentu sehingga mendorongnya untuk memperkenalkan teori konflik atau yang biasa disebut denga teori pertentangan kelas. Menurutnya, agama bisa disalahfungsikan oleh kalangan tertentu untuk melestarikan status quo peran tokoh-tokoh agama yang mendukung sisten kapitalisme di Eropa yang beragama Kristen. Lain halnya dengan Max Weber (1964-1920). Dia melihat adanya korelasi positif antara ajaran Protestan dengan munculnya semangat kapitalisme modern. Etika Protestan dilihatnya sebagai cikal bakal etos kerja masyarakat industri modern yang kapitalistik.[3]
Melalui pendekatan antropologis di atas, kita melihat bahwa agama berkolerasi dengan etos kerja dan perkembangan ekonomi suatau masyarakat. Dalam hubungan ini, jika kita ingin mengubah pandangan dan sikap etos kerja seseorang, maka dapat dilakukan dengan cara mengubah pandangan keagamaannya. 
Selanjutnya, melalui pendekatan antropologis ini, kita dapat melihat agama dalam hubungannya dengan mekanisme pengorganisasian (social organization) juga tidak kalah menarik untuk diketahui oleh para peneliti sosial keagamaan.
Selanjutnya, melalui pendekatan antropologis ini juga dapat ditemukan keterkaitan agama dengan psikoterapi. Sigmun Freud (1856-1939) pernah mengaitkan agama dengan Oedis Complex, yakni pengalaman infantil seorang anak yang tidak berdaya dihadapan kekuatan dan kekuasaan bapaknya. Agama dinilainya sebagai neurosis. Dalam psikoanalisanya, dia mengungkapkan hubungan antara ide, ego dan superego. Meskipun hasil penelitian Freud berakhir dengan kurang simpati terhadap realita keberagamaan manusia, tetapi temuannya ini cukup memberi peringatan terhadap beberapa kasus keberagamaan tertentu yang lebih terkait dengan patologi sosial maupun kejiwaan. Jika Freud oleh beberapa kalangan dilihat terlalu minor melihat fenomena keberagamaan manusia, lain halnya dengan psikoanalisis yang dikemukakan C.G. Jung malah menemukan hasil temuan psikoanalisanya yang berbalik arah dari apa yang ditemukan oleh Freud. Menurunya, ada korelasi yang sangat positif antara agama dan kesehatan mental. 
Melalui pendekatan antropologis sebagaimana tersebut di atas terlihat dengan jelas hubungan agama dengan berbagai masalah kehidupan manusia, dan dengan itu pula agama terlihat akrab dan fungsional dengan berbagai fenomena kehidupan manusia. 
Pendekatan antropologis seperti itu diperlukan adanya, sebab banyak berbagai hal yang dibicarakan agama hanya bisa dijelaskan dengan tuntas melalui pendekatan antropologis. Dalam Al-Qur’an, sebagai sumber utama ajaran Islam misalnya kita memperoleh informasi tentang kapal Nabi Nuh di gunung Arafat, kisah Ashabul Kahfi yang dapat bertahan hidup dalam gua lebih dari tiga ratus tahun lamanya. Dimana kira-kira bangkai kapal itu ; dimana kira-kira gua itu; dan bagaimana pula bisa terjadi hal yang menakjubkan itu; ataukah hal yang demikian merupakan kisah fiktif. Tentu masih banyak lagi contoh lain yang hanya dapat dijelaskan dengan bantuan ahli geografi dan arkeologi. 
Dengan demikian, pendekatan antropologi sangat dibutuhkan dalam memahami ajaran agama, karena dalam ajaran agama tersebut terdapat uraian dan informasi yang dapat dijelaskan lewat bantuan ilmu antropologi dengan cabang-cabangnya.[4]

C.      Pendekatan Sosiologis
Sosiologi adalah suatu ilmu yang menggambarkan tentang keadaan masyarakat lengkap dengan struktur, lapisan serta berbagai gejala sosial lainnya yang saling berkaitan. Dengan ilmu ini suatu fenomena sosial dapat dianalisis dengan faktor-faktor yang mendorong terjadinya hubungan, mobilitas sosial serta keyakinan-keyakinan yang mendasari terjadinya proses tersebut.
Disebutkan bahwa agama, disamping sebagai sebuah keyakinan (belief), juga merupakan gejala sosial. Artinya, agama yang dianut melahirkan berbagai perilaku sosial, yakni perilaku yang tumbuh dan berkembang dalam sebuah kehidupan bersama. Kadang-kadang perilaku tersebut saling mempengaruhi satu sama lain. Norma-norma dan nilai-nilai agama diduga sangat berpengaruh terhadap perilaku sosial.[5]
Pendekatan ini di gunakan untuk memahami perilaku yang berkaitan dengan hubungan antar individu dengan individu, individu dengan kelompok, dan antar kelompok dengan kelompok. Sosiologi harus di kaitkan dengan segala sesuatu yang sudah berada pada tingkat yang masuk akal ,dilihat sebagai kenyataan sosial karena suatu konsep yang tidak didasari dengan pemahaman sosiologis akan menimbulkan ketidak jelasan.
Adapun sosiologi agama adalah suatu bagian integral dan bahkan sentral dari sosiologi . Tugas yang paling penting adalah untuk menganalisa unsur-unsur normatif dan kognitif di mana suatu permasalahan yang di nyatakan secara social yang sudah di maklumi.[6]
                                                                  
D.      Pendekatan Filosofis
Secara harfiah, filsafat berasal dari kata philo yang berarti cinta kepada kebenaran, ilmu, dan hikmah. Selain itu filsafat dapat pula berarti mencari hakikat sesuatu, berusaha menautkan sebab dan akibat serta berusaha menafsirkan pengalaman-pengalaman manusia. Filsafat pada intinya berupaya menjelaskan inti, hakikat, atau hikmah mengenai sesuatu yang berbeda dibalik objek formanya. Filsafat mencari sesuatu yang mendasar, asas, dan inti yang terdapat dibalik yang bersifat lahiriyah.
Kegiatan berpikir untuk menemukan hakikat itu dilakukan secara mendalam. Louis O. Kattsof mengatakan bahwa kegiatan kefilsafatan ialah merenung, tetapi merenung bukanlah melamun, juga bukan berfikir secara kebetulan yang bersifat untung-untungan, melainkan dilakukan secara mendalam, radikal, sistematik, dan universal. Mendalam artinya dilakukan sedemikian rupa hingga dicari sampai kebatas dimana akal tidak sanggup lagi. Radikal artinya sampai keakar-akarnya hingga tidak ada lagi yang tersisa. Sistematik maksudnya adalah dilakukan secara teratur dengan menggunakan metode berpikir tertentu dan universal, maksudnya tidak dibatasi hanya pada suatu kepentingan kelompok tertentu, tetapi untuk seluruhnya.
Pendekatan secara filosofis telah banyak di lakukan oleh para ahli,seperti yang di katakan oleh Muhammad Al-Jurjawi, ketika seseorang yang mengerjakan satu amal ibadah niscaya tidak terjerat dalam formalisme kering yaitu simbolisme yang hampa serta ritualisme yang kering dari nilai spiritualisme. Semakin dalam penggalian makna filosofisnya, maka akan semakin dalam pula sikap penghayatan dan daya spiritualitas yang di miliki seseorang.[7] Cara berfikir secara filosofis tersebut selanjutnya dapat digunakan dalam memahami ajaran agama, dengan maksud agar hikmah, hakikat atau inti dari ajaran agama dapat dimengerti dan dipahami dengan cara seksama.            

E.       Pendekatan Historis
Sejarah atau historis adalah sutu ilmu yang di dalamnya dibahas berbagai peristiwa dengan memperhatikan unsur tempat, waktu, objek, latar belakang, dan pelaku peristiwa tersebut. Menurut ilmu ini, segala peristiwa dapat dilacak dengan melihat kapan peristiwa itu terjadi, dimana, apa sebabnya, siapa yang terlibat dalam peristiwa tersebut.
Pendekatan ini mengansumsikan bahwa realitas sosial yang terjadi sekarang ini sebenarnya merupakan hasil proses sejarah yang terjadi sejak beberapa tahun, ratus tahun, atau bahakan ribuan tahun yang lalu.[8]
Melalui pedekatan sejarah seseorang diajak menukik dari alam idealis ke alam yang bersifat empiris dan mendunia. Pendekatan kesejarahan ini amat dibutuhkan dalam memahami agama, karena agama itu sendiri turun dalam situasi yang kongkrit bahkan berkaitan dengan kondisi sosial kemasyarakatan.
 Kuntowijoyo telah melakukan studi yang mendalam terhadap agama yang dalam hal ini Islam, menurut pendekatan sejarah. Ketika ia mempelajari Al-qur’an, ia menyimpulkan bahwa pada dasarnya kandungan Al-qur’an itu terbagi menjadi dua bagian. Pertama, berisi konsep-konsep dan bagian kedua, berisi kisah-kisah sejarah dan perumpamaan.
Dalam bagian pertama yang berisi konsep-konsep, kita mendapati banyak sekali istilah Al-qur’an yang merujuk pada pengertian-pengertian normatif yang khusus, doktrin-doktrin etik, aturan-aturan legal, dan ajaran-ajaran keagamaan pada umumnya. Dalam bagian ini kita mengenal banyak sekali konsep, baik yang bersifat abstrak maupun konkret. Konsep tentang Allah, konsep tentang malaikat, tentang akhirat, tentang amar ma’ruf nahi mungkar, dan sebagainya adalah konsep-konsep yang abstrak.
Melalui pendekatan ini seseorang diajak untuk memasuki keadaan yang sebenarnya berkenaan dengan penerapan suatu peristiwa. Dari sini, maka seseorang tidak akan memahami agama keluar dari konteks historisnya, karena pemahaman demikian itu akan menyesatkan orang yang akan memahaminya. 

F.       Pendekatan Kebudayaan
Kebudayaan adalah hasil daya cipta manusia dengan menggunakan dan mengerahakan segenap potensi batin yang dimilikinya. Di dalam kebudayaan tersebut terdapat pengetahuan, keyakinan, seni, moral, adat istiadat dan sebagainya. Kesemuanya itu selanjutnya digunakan sebagai kerangka acuan atau blue print oleh seseorang dalam menjawab berbagai masalah yang dihadapinya. Dengan demikian, kebudayaan tampil sebagai pranata yang secara terus menerus dipelihara oleh para pembentuknya dan generasi selanjutnya yang diwarisi kebudayaan tersebut.
Makna pendekatan kebudayaan dapat diartikan sebagai sudut pandang atau cara melihat dan memperlakukan sesuatu gejala yang menjadi perhatian dengan menggunakan kebudayaan sebagai acuannya. Permasalahannya adalah: pengertian kebudayaan yang digunakan sebagai sudut pandang atau kaca mata dalam melihat gejala yang dikaji. Kalau kebudayaan itu didefinisikan sebagai hasil cipta, karsa dan rasa, berarti ia adalah penilaian keberhasilan manusia dalam menaklukan alam karena dalam kehidupan sehari-hari tidak diciptakan kebudayaan. Jika definisi kebudayaan ini digunakan sebagai pendekatan untuk mengkaji agama, akan tampak tidak relefan. Karena agama bukanlah hasil cipta, karsa, dan rasa manusia.[9]
Pendekatan melalui kebudayaan di lakukan dengan penggunaan cara-cara penelitian yang di atur oleh aturan-aturan kebudayaan yang bersangkutan.
Kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan yang di punyai oleh manusia sebagai makhluk sosial yang isinya adalah perangkat model-model pengetahuan yang secara selektif dapat di gunakan untuk memahami dan menginterpretasi lingkungan yang di hadapi dan untuk mendorong dan menciptakan tindakan-tindakan yang diperlukan.
Oleh karena itu bidang-bidang pengetahuan keahlian utama yang di dasarkan atas studi budaya adalah meliputi theology, filsafat, hukum, fiologi dan lain-lain.
Ajaran islam bersifat doktriner dan normatife ,akan tetapi tidak berarti bersifat kaku,tertutup dan tidak mau menerima perubahan. Dalam aplikasinya terdapat peluang ijtihad untuk menyesuaikan dengan keadaan situasi dan kondisi.
Agama sebagai budaya juga dapat dilihat sebagai mekanisme kontrol, karena agama adalah pranata sosial dan gejala sosial yang berfungsi sebagai kontrol terhadap institusi-institusi yang ada.
Dalam islam mengenai kebudayaan, umat islam berpegang pada kaidah memelihara pada produk budaya lama yang baik dan mengambil produk budaya baru yang lebih baik pula.
Dalam islam banyak terdapat macam-macam kebudayaan, seperti tata cara dalam memilih pendamping hidup diantaranya adalah bahwa yang paling tepat sebagai pendamping hidup adalah yang paling beragama, kemudian acara pernikahan dibacakan syahadat, ketika melahirkan si anak di dengarkan kumandang adzan dan juga pada acara aqiqah, itu semua adalah sebagian dari kebudayaan islam dimana pada setiap acara di selimuti dengan nuansa keagamaan.

G.      Pendekatan Psikologi
Psikologi atau ilmu jiwa adalah ilmu yang mempelajari jiwa seseorang melalui gejala perilaku yang dapat diamatinya.[10]
Dalam ajaran agama banyak dijumpai istilah-istilah yang menggambarkan sikap batin seseorang. Misalnya, sikap beriman dan bertakwa kepada Allah, sebagai orang yang saleh, orang yang berbuat baik, orang yang sadik (jujur), dan sebagainya. Semua itu adalah gejala-gejala kejiwaan yang berkaitan dengan agama.
Kita misalnya dapat mengetahui pengaruh dari shalat, puasa, jakat, haji, dan ibadah lainnya dengan melalui ilmu jiwa. Dengan pengetahuan ini, maka dapat disusun langkah-langkah baru yang lebih efisien lagi dalam menanamkan ajaran agama.
Dari uraian tersebut kita melihat ternyata agama dapat dipahami melalui berbagai pendekatan. Dengan pendekatan itu semua orang akan sampai pada agama. Seorang teolog, sosiolog, antropolog, sejarawan, ahli ilmu jiwa, dan budayawan akan sampai kepada pemahaman agama yang benar. Disini kita melihat bahwa agama bukan hanya monopoli kalangan teolog dan normatif belaka, melainkan agama dapat dipahami semua orang sesuai dengan pendekatan dan kesanggupan yang dimilikinya.




DAFTAR PUSTAKA

“Berbagai Pendekatan dalam Agama”, dalam tahdits.wordpress.com, diakses pada hari Senin, tanggal 7 Maret 2016.
Abdullah Amin, Studi Agama Normativitas atau Historisitas?, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011.
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2014.
Ajiraksa, “Pendekatan Antropologis dalam Memahami Agama”, dalam http://blogspot.co.id, diakses pada hari Senin, tanggal 7 Maret 2016.
Ali Sayuthi, Metodologi Penelitian Agam Pendekatan Teori dan Praktek, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002.
Kreativitasdircom, “Pendekatan dalam Memahami Agama”, dalam wordpress.com, diakses pada hari Senin, 7 Maret 2016.


[1] Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historisitas?, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hlm. 29.
[2] Ibid., hlm. 30.
[3] Ajiraksa, “Pendekatan Antropologis dalam Memahami Agama”, dalam http://blogspot.co.id, diakses pada hari Senin, tanggal 7 Maret 2016.
[4]“Berbagai Pendekatan dalam Agama”, dalam tahdits.wordpress.com, diakses pada hari Senin, tanggal 7 Maret 2016.
[5] Sayuthi Ali, Metodologi Penelitian Agama Pendekatan Teori dan Praktek, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 100.
[6] Kreativitasdircom, “Pendekatan dalam Memahami Agama”, dalam wordpress.com, diakses pada hari Senin, 7 Maret 2016.
[7] Ibid.,
[8] Sayuthi Ali, Metodologi Penelitian Agama Pendekatan Teori dan Praktek, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 117.

[9] Ibid., hlm. 74.                
[10] Kreativitasdircom, “Pendekatan dalam Memahami Agama”, dalam wordpress.com, diakses pada hari Senin, 7 Maret 2016.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Smt 5 Ushul fiqih Hakim hukum mahkum Fih Mahkum 'alaih

    HAKIM, HUKUM, MAHKUM FIIH, MAHKUM ‘ALAIH Makalah I ni D isusun G una M emenuhi T ugas K elompok Mata Kuliah :   Ushul Fiqih Dosen Pengampu :   Yusuf Effendi , M.Pd. Disusun Oleh: 1.      Kun Amiina                        (15120026) 2.      M. Lutfil Makin                  (15120036) Semester 5 B PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM JURUSAN TARBIYAH SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NAHDLATUL ULAMA PURWOREJO 2017 BAB I PENDAHULUAN A.     LATAR BELAKANG Di dalam agama Islam, dalam menjalankan kehidupan sehari-hari ini kita tidak pernah terlepas dari hukum-hukum syar’i. Hukum yang mengatur tentang perbuatan-perbuatan seo...

Smt 1 Psikologi Umum gejala Campuran

GEJALA CAMPURAN (PERHATIAN, KELELAHAN, SUGESTI DAN KELUPAAN) Paper Ini Disusun Guna Memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah : Psikologi Umum Dosen Pengampu : Akhid Lutfian, S.Pd, M.Pd Disusun Oleh (Kelompok 15) : Akmal Maulana Subchi Kun Amiina Pariyati Semester 1B PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM JURUSAN TARBIYAH SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NAHDLATUL ULAMA PURWOREJO 2015 PENDAHULUAN LATAR BELAKANG Berbicara tentang jiwa, terlebih dahulu kita harus dapat membedakan antara nyawa dan jiwa. Dimana nyawa adalah daya jasmanilah yang adanya tergantung pada hidup jasmani yaitu perbuatan yang ditimbulkan oleh proses belajar, misalnya insting, refleks dan nafsu. Sedangkan jiwa adalah daya hidup rohaniah yang menjadi penggerak dan penyalur bagi sekalian perbuatan pribadi. Pada umumnya manusia tak mungkin lepas dari kondisi lingkungan. Tanpa disadari kondisi lingkungan tersebut dapat mengakibatkan pergeseran atau terjadinya kejiwaan dan apabila manusi...

Smt 1 Al-Qur'an Jadal

BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Hakikat-hakikat yang sudah ada jelas nampak   dan   nyata   telah   dapat   disentuh   manusia,   dibeberkan   oleh   bukti-bukti   alam   dan   tidak   mememrlukan   lagi   argument lain untuk menetapkan   dalil   atas   kebenarannya. Namun   demikian, kesombongan   seringkali   mendorong   seseorang   untuk membangkitkan   keraguaan dan mengacu hakikat   tersebut   dengan   keracunan yang   dibungkus   dengan baju   kebenaran   serta   dihiasi   dengan cermin   akal.   Usaha   demikiaan   perlu    dihadapi dengan    hujjah agar   hakikat-hakikat   tersebut   mendapatkan   pengakuan   yang    semestinya,   dipercayai   atau malah   diingkari. Al-Qur an,    seru...