PENDEKATAN
DALAM MEMAHAMI AGAMA
Makalah ini disusun
guna memenuhi tugas kelompok
Mata Kuliah: MSI 2
Dosen Pengampu: Sulis
Rokhmawanto, S.Pd.I, M.S.I

Disusun Oleh :
Nani Nur
Setiawanti (15120055)
Siti
Ahdiani
Semester: 2 B
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
JURUSAN
TARBIYAH
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NAHDLATUL ULAMA
PURWOREJO
2016
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Agama
adalah wahyu yang diturunkan Tuhan untuk manusia. Fungsi dasar agama adalah
memberikan orientasi, motivasi, dan membantu manusia untuk mengenal dan
menghayati sesuatu yang sakral. Lewat pengalaman beragama (religious experience), yang penghayatan kepada Tuhan, manusia
menjadi memiliki kesanggupan, kemampuan dan kepekaan rasa untuk mengenal dan
memahami eksistensi sang illahi.
Dewasa
ini kehadiran agama semakin dituntut agar ikut terlibat secara aktif di dalam
memecahkan berbagai masalah yang dihadapi umat manusia. Agama tidak hanya
sekedar menjadi lambang kesalehan atau berhenti sekedar disampaikan dalam
khotbah, melainkan secara konsepsional menunjukkan cara-cara yang paling
efektif dalam memecahkan masalah.
Berbagai
pendekatan dapat digunakan untuk memahami agama, Hal ini perlu dilakukan karena
melalui pendekatan tersebut kehadiran agama secara fungsional dapat dirasakan
oleh penganutnya. Sebaliknya tanpa mengetahui berbagai pendekatan tersebut,
tidak mustahil agama menjadi sulit dipahami oleh masyarakat, tidak fungsional,
dan akhirnya masyarakat mencari pemecahan masalah kepada selain agama, dan hal
ini tidak boleh terjadi.
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimanakah
pendekatan teologis normatif ?
2. Bagaimanakah
pendekatan antropologis ?
3. Bagaimanakah
pendekatan filosofis ?
4. Bagaimanakah
pendekatan historis ?
5. Bagaimanakah
pendekatan kebudayaan ?
6. Bagaimanakah
pendekatan psikologi ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pendekatan
Teologis Normatif
Pendekatan
teologis normatif dalam memahami agama secara harfiah dapat diartikan sebagai
upaya memahami agama dengan menggunakan Ilmu Ketuhanan yang bertolak dari suatu
keyakinan bahwa wujud empirik dari suatu keagamaan dianggap sebagai yang paling
benar dibandingkan dengan yang lainnya. Dan yang dimaksud dengan pendekatan itu
sendiri adalah cara pandang atau paradigma yang terdapat dalam suatu bidang
ilmu yang selanjutnya digunakan dalam memahami agama.
Teologi,
sebagaimana kita ketahui, tidak bisa tidak pasti mengacu pada agama tertentu.
Loyalitas terhadap kelompok sendiri, komitmen dan dedikasai yang tinggi serta
penggunaan bahasa yang bersifat subjektif, yakni bahasa sebagai pelaku bukan
sebagai pengamat adalah merupakan ciri yang melekat pada bentuk pemikiran
teologis. Karena sifat dasarnya yang partikularistik, maka dengan mudah kita
dapat menemukan teologi Islam, teologi Kristen-Katolik, teologi
Kristen-Protestan dan seterusnya. Dan jika diteliti lebih mendalam lagi, dalam
interen umat beragama tertentu pun masih dapat dijumpai berbagai paham atau
sekte keagamaan. Dalam Islam sendiri, secara tradisional, dapat dijumpai
teologi Mu’tazilah, teologi Asy’ariyah, dan Maturidiyah. Menurut pengamatan
Seyyed Hossein Nasr, dalam era kontemporer ini, setidaknya ada 4 prototip
pemikiran keagamaan Islam, yaitu pemikiran keagamaan fundamentalis, modernis, misianis dan tradisionalis. Keempat
proptip pemikiran keagamaan tersebut sudah barang tentu tidak mudah untuk
disatukan dengan begitu saja. Masing-masing mempunyai “keyakinan” ideologi yang
seringkali sulit untuk didamaikan. Mungkin kurang tepat menggunakan istilah
“teologi” di sini, tetapi menunjuk pada gagasan pemikiran keagamaan yang
terinspirisasikan oleh paham ketuhanan dan pemahaman kitab suci serta
penafsiran ajaran agama tertentu adalah juga bentuk dari pemikiran teologi in the new fashion. [1]
Selain
itu pendekatan teologi dalam pemahaman keagamaan adalah pendekatan yang
menekankan pada bentuk forma atau simbol-simbol keagamaan yang masing-masing
bentuk forma atau simbol-simbol keagamaan tersebut mengklaim dirinya sebagai
yang paling benar sedangkan yang lainnya sebagai yang salah. Amin Abdullah
mengatakan bahwa pendekatan teologi semata-mata tidak dapat memecahkan masalah
esensial pluralitas agama saat sekarang ini. Terlebih-lebih lagi kenyataan
demikian harus ditambahkan bahwa doktrin teologi, pada dasarnya memang tidak
pernah berdiri sendiri, terlepas dari jaringan institusi atau kelembagaan
sosial kemasyarakatan yang mendukung keberadaannya. Kepentingan ekonomi,
sosial, politik, pertahanan selalu menyertai pemikiran teologis yang sudah
mengelompok dan mengkristal dalam suatu komunitas masyarakat tertentu.
Bercampur aduknya doktrin teologi dengan historisitas institusi sosial kemasyarakatan
yang menyertai dan mendukungnya menambah peliknya persoalan yang dihadapi umat
beragama. Tapi, justru keterlibatan institusi dan pranata sosial kemasyarakatan
dalam wilayah keberagaman manusia itulah yang kemudian menjadi bahan subur bagi
peneliti agama. Dari situ, kemudian muncul terobosan baru untuk melihat
pemikiran teologi yang termanifestasikan dalam “budaya” tertentu secara lebih
objektif lewat pengamatan empirik-faktual, serta pranata-pranata sosial
kemasyarakatan yang mendukung keberadaannya.[2]
Pendekatan
teologis dalam memahami agama menggunakan cara berpikir deduktif, yaitu cara
berpikir yang berawal dari keyakinan yang diyakini benar dan mutlak adanya,
karena ajaran yang berasal dari Tuhan, sudah pasti benar, sehingga tidak perlu
dipertanyakan lebih dahulu melainkan dimulai dari keyakinan yang selanjutnya
diperkuat dengan dalil-dalil dan argumentasi. Pendekatan teologis sebagaimana
disebutkan di atas telah menunjukkan adanya kekurangan yang antara lain
bersifat eksklusif, dogmatis, tidak mau mengakui kebenaran agama lain, dan
sebagainya. Kekurangan ini dapat diatasi dengan cara melengkapinya dengan
pendekatan sosiologis sebagaimana telah diuraikan diatas. Sedangkan kelebihannya, melalui pendekatan teologis normatif ini
seseorag akan memiliki sikap militansi dalam beragama, yakni berpegang teguh
kepada agama yang diyakininya sebagai yang benar, tanpa memandang dan
meremehkan agama lainnya. Dengan pendekatan yang demikian seseorang akan
memiliki sifat fanatis terhadap agama yang dianutnya.
Pendekatan
teologis ini selanjutnya erat kaitannya dengan pendekatan normatif, yaitu suatu
pendekatan yang memandang agama dari segi ajarannya yang pokok dan asli dari
Tuhan yang di dalamnya belum terdapat penalaran pemikiran manusia. Dalam
pendekata teologis ini agama dilihat sebagai suatu kebenaran mutlak dari Tuhan,
tidak ada kekurangan sedikit pun dan tampak bersikap ideal. Dalam kaitan ini
agama tampil sangat prima dengan seperangkat cirinya yang khas. Untuk agama
islam misalnya, secara normatif basti benar, menjunjung nilai-nilai luhur.
Untuk bidang sosial, agama tampil menawarkan nilai-nilai kemanusiaan,
kebersamaan, kesetiakawanan, tolong-menolong, tenggang rasa, persamaan derajat
dan sebagainya. Untuk bidang ilmu pengetahuan, agama tampil mendorong pemeluknya
agar memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi yang setinggi-tingginya, menguasai
keterampilan, keahlian dan sebagainya. Demikian pula untuk bidang kesehatan,
lingkungan hidup, kebudayaan, politik dan sebagainya agama tampil sangat ideal
dan yang dibangun berdasarkan dalil-dalil yang terdapat dalam ajaran agama yang
bersangkutan.
B.
Pendekatan
Antropologis
Pendekatan antropologis
dalam memahami agama dapat diartikan sebagai salah satu upaya memahami agama
dengan cara melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembag dalam
masyarakat. Melalui pendekatan ini agama
tampak akrab dan dekat dengan masalah-masalah yang dihadapi manusia dan
berupaya menjelaskan dan memberikan jawabannya. Dengan kata lain bahwa
cara-cara yang digunakan dalam disiplin ilmu antropologi dalam melihat suatu
masalah digunakan pula untuk memahami agama. Antropologi dalam kaitan ini
sebagaimana dikatan Dawam Rahardjo, lebih mengutamakan pengamatan langsung,
bahkan sifatanya partisipatif. Dari sini timbul kesimpulan-kesimpulan yang
sifatnya induktif yang mengimbangi pendekatn deduktif sebagai mana digunakan dalam
pengamatan sosiologis. Penelitian antropologis yang induktif dan grounded, yaitu turun ke lapangan tanpa
berpijak pada, atau setidak-tidaknya dengan upaya membebaskan diri dari
kungkungan teori-teori formal yang pada dasarnya sangat abstrak sebagaimana
yang dilakukan dibidang sosiologi dan lebih-lebih ekonomi yang mempergunakan
model-model matematis, banyak juga memberi sumbangan kepada penelitian
historis.
Sejalan dengan pendekatan tersebut, maka dalam berbagai
penelitian antropologi agama dapat ditemukan adanya hubungan positif antara
kepercayaan agama dengan kondisi ekonomi dan politik. Golongan masyarakat yang
kurang mampu dan golongan miskin pada umumnya, lebih tertarik pada
gerakan-gerakan keagamaan yang bersifat mesianis, yang menjanjikan perubahan
tatanan sosial kemasyarakatan. Sedangkan golongan orang kaya lebih cenderung
untuk mempertahankan tatanan masyarakat yang sudah mapan secara ekonomi
lantaran tatanan itu menguntungkan pihaknya. Karl Marx (1818-1883), sebagai
contoh, melihat agama sebagai opium atau candu masyarakat tertentu sehingga
mendorongnya untuk memperkenalkan teori konflik atau yang biasa disebut denga
teori pertentangan kelas. Menurutnya, agama bisa disalahfungsikan oleh kalangan
tertentu untuk melestarikan status quo peran tokoh-tokoh agama
yang mendukung sisten kapitalisme di Eropa yang beragama Kristen. Lain halnya
dengan Max Weber (1964-1920). Dia melihat adanya korelasi positif antara ajaran
Protestan dengan munculnya semangat kapitalisme modern. Etika Protestan
dilihatnya sebagai cikal bakal etos kerja masyarakat industri modern yang
kapitalistik.[3]
Melalui pendekatan antropologis di atas, kita melihat bahwa
agama berkolerasi dengan etos kerja dan perkembangan ekonomi suatau masyarakat.
Dalam hubungan ini, jika kita ingin mengubah pandangan dan sikap etos kerja
seseorang, maka dapat dilakukan dengan cara mengubah pandangan
keagamaannya.
Selanjutnya, melalui pendekatan antropologis ini, kita dapat
melihat agama dalam hubungannya dengan mekanisme pengorganisasian (social
organization) juga tidak kalah menarik untuk diketahui oleh para peneliti
sosial keagamaan.
Selanjutnya, melalui pendekatan antropologis ini juga dapat
ditemukan keterkaitan agama dengan psikoterapi. Sigmun Freud (1856-1939) pernah
mengaitkan agama dengan Oedis Complex, yakni pengalaman
infantil seorang anak yang tidak berdaya dihadapan kekuatan dan kekuasaan
bapaknya. Agama dinilainya sebagai neurosis. Dalam
psikoanalisanya, dia mengungkapkan hubungan antara ide, ego dan superego.
Meskipun hasil penelitian Freud berakhir dengan kurang simpati terhadap realita
keberagamaan manusia, tetapi temuannya ini cukup memberi peringatan terhadap
beberapa kasus keberagamaan tertentu yang lebih terkait dengan patologi sosial
maupun kejiwaan. Jika Freud oleh beberapa kalangan dilihat terlalu minor
melihat fenomena keberagamaan manusia, lain halnya dengan psikoanalisis yang
dikemukakan C.G. Jung malah menemukan hasil temuan psikoanalisanya yang berbalik
arah dari apa yang ditemukan oleh Freud. Menurunya, ada korelasi yang sangat
positif antara agama dan kesehatan mental.
Melalui pendekatan antropologis sebagaimana tersebut di atas
terlihat dengan jelas hubungan agama dengan berbagai masalah kehidupan manusia,
dan dengan itu pula agama terlihat akrab dan fungsional dengan berbagai
fenomena kehidupan manusia.
Pendekatan antropologis seperti itu diperlukan adanya, sebab
banyak berbagai hal yang dibicarakan agama hanya bisa dijelaskan dengan tuntas
melalui pendekatan antropologis. Dalam Al-Qur’an, sebagai sumber utama ajaran
Islam misalnya kita memperoleh informasi tentang kapal Nabi Nuh di gunung
Arafat, kisah Ashabul Kahfi yang dapat bertahan hidup dalam gua lebih dari tiga
ratus tahun lamanya. Dimana kira-kira bangkai kapal itu ; dimana kira-kira gua
itu; dan bagaimana pula bisa terjadi hal yang menakjubkan itu; ataukah hal yang
demikian merupakan kisah fiktif. Tentu masih banyak lagi contoh lain yang hanya
dapat dijelaskan dengan bantuan ahli geografi dan arkeologi.
Dengan demikian, pendekatan antropologi sangat dibutuhkan
dalam memahami ajaran agama, karena dalam ajaran agama tersebut terdapat uraian
dan informasi yang dapat dijelaskan lewat bantuan ilmu antropologi dengan
cabang-cabangnya.[4]
C.
Pendekatan
Sosiologis
Sosiologi
adalah suatu ilmu yang menggambarkan tentang keadaan masyarakat lengkap dengan
struktur, lapisan serta berbagai gejala sosial lainnya yang saling berkaitan.
Dengan ilmu ini suatu fenomena sosial dapat dianalisis dengan faktor-faktor
yang mendorong terjadinya hubungan, mobilitas sosial serta keyakinan-keyakinan
yang mendasari terjadinya proses tersebut.
Disebutkan
bahwa agama, disamping sebagai sebuah keyakinan (belief), juga merupakan gejala sosial. Artinya, agama yang dianut
melahirkan berbagai perilaku sosial, yakni perilaku yang tumbuh dan berkembang
dalam sebuah kehidupan bersama. Kadang-kadang perilaku tersebut saling
mempengaruhi satu sama lain. Norma-norma dan nilai-nilai agama diduga sangat
berpengaruh terhadap perilaku sosial.[5]
Pendekatan ini di gunakan untuk memahami perilaku yang
berkaitan dengan hubungan antar individu dengan individu, individu dengan
kelompok, dan antar kelompok dengan kelompok.
Sosiologi harus di kaitkan dengan segala sesuatu
yang sudah berada pada tingkat yang masuk akal ,dilihat sebagai kenyataan sosial
karena suatu konsep yang tidak didasari dengan pemahaman sosiologis akan
menimbulkan ketidak jelasan.
Adapun sosiologi agama adalah suatu bagian integral dan bahkan
sentral dari sosiologi . Tugas yang paling penting adalah untuk menganalisa
unsur-unsur normatif dan kognitif di mana suatu permasalahan yang di nyatakan
secara social yang sudah di maklumi.[6]
D.
Pendekatan
Filosofis
Secara
harfiah, filsafat berasal dari kata philo
yang berarti cinta kepada kebenaran, ilmu, dan hikmah. Selain itu filsafat
dapat pula berarti mencari hakikat sesuatu, berusaha menautkan sebab dan akibat
serta berusaha menafsirkan pengalaman-pengalaman manusia. Filsafat pada intinya
berupaya menjelaskan inti, hakikat, atau hikmah mengenai sesuatu yang berbeda
dibalik objek formanya. Filsafat mencari sesuatu yang mendasar, asas, dan inti
yang terdapat dibalik yang bersifat lahiriyah.
Kegiatan
berpikir untuk menemukan hakikat itu dilakukan secara mendalam. Louis O.
Kattsof mengatakan bahwa kegiatan kefilsafatan ialah merenung, tetapi merenung
bukanlah melamun, juga bukan berfikir secara kebetulan yang bersifat
untung-untungan, melainkan dilakukan secara mendalam, radikal, sistematik, dan
universal. Mendalam artinya dilakukan sedemikian rupa hingga dicari sampai
kebatas dimana akal tidak sanggup lagi. Radikal artinya sampai keakar-akarnya
hingga tidak ada lagi yang tersisa. Sistematik maksudnya adalah dilakukan
secara teratur dengan menggunakan metode berpikir tertentu dan universal, maksudnya
tidak dibatasi hanya pada suatu kepentingan kelompok tertentu, tetapi untuk
seluruhnya.
Pendekatan secara filosofis telah banyak di lakukan oleh para
ahli,seperti yang di katakan oleh Muhammad Al-Jurjawi, ketika seseorang yang
mengerjakan satu amal ibadah niscaya tidak terjerat dalam formalisme kering
yaitu simbolisme yang hampa serta ritualisme yang kering dari nilai
spiritualisme. Semakin dalam penggalian makna filosofisnya, maka akan semakin
dalam pula sikap penghayatan dan daya spiritualitas yang di miliki seseorang.[7] Cara berfikir secara
filosofis tersebut selanjutnya dapat digunakan dalam memahami ajaran agama,
dengan maksud agar hikmah, hakikat atau inti dari ajaran agama dapat dimengerti
dan dipahami dengan cara seksama.
E.
Pendekatan
Historis
Sejarah
atau historis adalah sutu ilmu yang di dalamnya dibahas berbagai peristiwa
dengan memperhatikan unsur tempat, waktu, objek, latar belakang, dan pelaku
peristiwa tersebut. Menurut ilmu ini, segala peristiwa dapat dilacak dengan
melihat kapan peristiwa itu terjadi, dimana, apa sebabnya, siapa yang terlibat
dalam peristiwa tersebut.
Pendekatan
ini mengansumsikan bahwa realitas sosial yang terjadi sekarang ini sebenarnya
merupakan hasil proses sejarah yang terjadi sejak beberapa tahun, ratus tahun,
atau bahakan ribuan tahun yang lalu.[8]
Melalui pedekatan
sejarah seseorang diajak menukik dari alam idealis ke alam yang bersifat
empiris dan mendunia. Pendekatan kesejarahan ini amat dibutuhkan dalam memahami
agama, karena agama itu sendiri turun dalam situasi yang kongkrit bahkan
berkaitan dengan
kondisi sosial kemasyarakatan.
Kuntowijoyo telah melakukan
studi yang mendalam terhadap agama yang dalam hal ini Islam, menurut pendekatan
sejarah. Ketika ia mempelajari Al-qur’an, ia menyimpulkan bahwa pada dasarnya
kandungan Al-qur’an itu terbagi menjadi dua bagian. Pertama, berisi
konsep-konsep dan bagian kedua, berisi kisah-kisah sejarah dan perumpamaan.
Dalam bagian pertama yang berisi konsep-konsep, kita mendapati
banyak sekali istilah Al-qur’an yang merujuk pada pengertian-pengertian
normatif yang khusus, doktrin-doktrin etik, aturan-aturan legal, dan
ajaran-ajaran keagamaan pada umumnya. Dalam bagian ini kita mengenal banyak
sekali konsep, baik yang bersifat abstrak maupun konkret. Konsep tentang Allah,
konsep tentang malaikat, tentang akhirat, tentang amar ma’ruf nahi mungkar, dan
sebagainya adalah konsep-konsep yang abstrak.
Melalui pendekatan ini
seseorang diajak untuk memasuki keadaan yang sebenarnya berkenaan dengan
penerapan suatu peristiwa. Dari sini, maka seseorang tidak akan memahami agama
keluar dari konteks historisnya, karena pemahaman demikian itu akan menyesatkan
orang yang akan memahaminya.
F.
Pendekatan
Kebudayaan
Kebudayaan
adalah hasil daya cipta manusia dengan menggunakan dan mengerahakan segenap
potensi batin yang dimilikinya. Di dalam kebudayaan tersebut terdapat
pengetahuan, keyakinan, seni, moral, adat istiadat dan sebagainya. Kesemuanya
itu selanjutnya digunakan sebagai kerangka acuan atau blue print oleh seseorang dalam menjawab berbagai masalah yang
dihadapinya. Dengan demikian, kebudayaan tampil sebagai pranata yang secara
terus menerus dipelihara oleh para pembentuknya dan generasi selanjutnya yang
diwarisi kebudayaan tersebut.
Makna
pendekatan kebudayaan dapat diartikan sebagai sudut pandang atau cara melihat
dan memperlakukan sesuatu gejala yang menjadi perhatian dengan menggunakan
kebudayaan sebagai acuannya. Permasalahannya adalah: pengertian kebudayaan yang
digunakan sebagai sudut pandang atau kaca mata dalam melihat gejala yang
dikaji. Kalau kebudayaan itu didefinisikan sebagai hasil cipta, karsa dan rasa,
berarti ia adalah penilaian keberhasilan manusia dalam menaklukan alam karena
dalam kehidupan sehari-hari tidak diciptakan kebudayaan. Jika definisi
kebudayaan ini digunakan sebagai pendekatan untuk mengkaji agama, akan tampak
tidak relefan. Karena agama bukanlah hasil cipta, karsa, dan rasa manusia.[9]
Pendekatan melalui kebudayaan di lakukan dengan penggunaan
cara-cara penelitian yang di atur oleh aturan-aturan kebudayaan yang
bersangkutan.
Kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan yang di punyai oleh manusia sebagai makhluk sosial yang isinya adalah perangkat model-model pengetahuan yang secara selektif dapat di gunakan untuk memahami dan menginterpretasi lingkungan yang di hadapi dan untuk mendorong dan menciptakan tindakan-tindakan yang diperlukan.
Oleh karena itu bidang-bidang pengetahuan keahlian utama yang di dasarkan atas studi budaya adalah meliputi theology, filsafat, hukum, fiologi dan lain-lain.
Kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan yang di punyai oleh manusia sebagai makhluk sosial yang isinya adalah perangkat model-model pengetahuan yang secara selektif dapat di gunakan untuk memahami dan menginterpretasi lingkungan yang di hadapi dan untuk mendorong dan menciptakan tindakan-tindakan yang diperlukan.
Oleh karena itu bidang-bidang pengetahuan keahlian utama yang di dasarkan atas studi budaya adalah meliputi theology, filsafat, hukum, fiologi dan lain-lain.
Ajaran islam bersifat doktriner dan normatife ,akan tetapi
tidak berarti bersifat kaku,tertutup dan tidak mau menerima perubahan. Dalam
aplikasinya terdapat peluang ijtihad untuk menyesuaikan dengan keadaan situasi
dan kondisi.
Agama sebagai budaya juga dapat dilihat sebagai mekanisme kontrol, karena agama adalah pranata sosial dan gejala sosial yang berfungsi sebagai kontrol terhadap institusi-institusi yang ada.
Agama sebagai budaya juga dapat dilihat sebagai mekanisme kontrol, karena agama adalah pranata sosial dan gejala sosial yang berfungsi sebagai kontrol terhadap institusi-institusi yang ada.
Dalam islam mengenai kebudayaan, umat islam berpegang pada
kaidah memelihara pada produk budaya lama yang baik dan mengambil produk budaya
baru yang lebih baik pula.
Dalam islam banyak terdapat macam-macam kebudayaan, seperti
tata cara dalam memilih pendamping hidup diantaranya adalah bahwa yang paling
tepat sebagai pendamping hidup adalah yang paling beragama, kemudian acara
pernikahan dibacakan syahadat, ketika melahirkan si anak di dengarkan kumandang
adzan dan juga pada acara aqiqah, itu semua adalah sebagian dari kebudayaan
islam dimana pada setiap acara di selimuti dengan nuansa keagamaan.
G.
Pendekatan
Psikologi
Psikologi
atau ilmu jiwa adalah ilmu yang mempelajari jiwa seseorang melalui gejala
perilaku yang dapat diamatinya.[10]
Dalam ajaran agama banyak
dijumpai istilah-istilah yang menggambarkan sikap batin seseorang. Misalnya,
sikap beriman dan bertakwa kepada Allah, sebagai orang yang saleh, orang yang
berbuat baik, orang yang sadik (jujur), dan sebagainya. Semua itu adalah
gejala-gejala kejiwaan yang berkaitan dengan agama.
Kita
misalnya dapat mengetahui pengaruh dari shalat, puasa, jakat, haji, dan ibadah
lainnya dengan melalui ilmu jiwa. Dengan pengetahuan ini, maka dapat disusun
langkah-langkah baru yang lebih efisien lagi dalam menanamkan ajaran agama.
Dari
uraian tersebut kita melihat ternyata agama dapat dipahami melalui berbagai
pendekatan. Dengan pendekatan itu semua orang akan sampai pada agama. Seorang
teolog, sosiolog, antropolog, sejarawan, ahli ilmu jiwa, dan budayawan akan
sampai kepada pemahaman agama yang benar. Disini kita melihat bahwa agama bukan
hanya monopoli kalangan teolog dan normatif belaka, melainkan agama dapat
dipahami semua orang sesuai dengan pendekatan dan kesanggupan yang dimilikinya.
DAFTAR PUSTAKA
“Berbagai
Pendekatan dalam Agama”, dalam tahdits.wordpress.com,
diakses pada hari Senin, tanggal 7 Maret 2016.
Abdullah
Amin, Studi Agama Normativitas atau
Historisitas?, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011.
Abuddin
Nata, Metodologi Studi Islam,
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2014.
Ajiraksa, “Pendekatan
Antropologis dalam Memahami Agama”, dalam http://blogspot.co.id,
diakses pada hari Senin, tanggal 7 Maret 2016.
Ali
Sayuthi, Metodologi Penelitian Agam
Pendekatan Teori dan Praktek, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002.
Kreativitasdircom,
“Pendekatan dalam Memahami Agama”, dalam wordpress.com,
diakses pada hari Senin, 7 Maret 2016.
[1] Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historisitas?,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hlm. 29.
[2] Ibid., hlm. 30.
[3] Ajiraksa, “Pendekatan
Antropologis dalam Memahami Agama”, dalam http://blogspot.co.id, diakses pada
hari Senin, tanggal 7 Maret 2016.
[4]“Berbagai
Pendekatan dalam Agama”, dalam tahdits.wordpress.com,
diakses pada hari Senin, tanggal 7 Maret 2016.
[5] Sayuthi Ali, Metodologi Penelitian Agama Pendekatan Teori
dan Praktek, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 100.
[6] Kreativitasdircom,
“Pendekatan dalam Memahami Agama”, dalam wordpress.com,
diakses pada hari Senin, 7 Maret 2016.
[7] Ibid.,
[8] Sayuthi Ali, Metodologi Penelitian Agama Pendekatan Teori
dan Praktek, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 117.
[9] Ibid., hlm. 74.
[10] Kreativitasdircom,
“Pendekatan dalam Memahami Agama”, dalam wordpress.com,
diakses pada hari Senin, 7 Maret 2016.
Komentar
Posting Komentar