Makalah ini disusun
guna memenuhi tugas kelompok
Mata Kuliah : Ilmu Kalam
Dosen Pengampu :
Mahmud Nasir, S.Fil.I, M.Hum
Disusun Oleh:
1. Hafni
Mufidah
2. Kun
Amiina
3. M.
Lutfil Makin
4. Yudha
Wahyu P.
Semester
2B
PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI
AGAMA ISLAM NAHDLATUL ULAMA
PURWOREJO
2016
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Allah Swt. telah mengutus Rasulullah Saw. sebagai penghabisan para Nabi dan
Rasul bagi semua manusia. Beliau menerima al-Qur’an untuk menunjukkan kejalan
yang lurus dan benar, dikemas dalam Islam untuk mengeluarkan manusia dari
kegelapan menuju cahaya terang dan meluruskan akidah. Sehingga, tidaklah
berlebihan jika kemudian Islam disebut sebagai agama Tauhid.
Reorientasi akidah Aswaja (Ahlussunnah wal Jama’ah) bukan dimaksudkan untuk
mengobrak-abrik dan mempertanyakan
konsep yang telah ada, namun justru
mempertajam pisau analisa Aswaja da meneruskan konsep-konsep yang telah ditata
oleh para ulama terdahulu (salafuna al-saleh) menuju kepada suatu kondisi yang
sempurna. Upaya ini dilakukan oleh ulama dulu seperti, Hasan Basri, Abu Hasan
al-Asy’ari, Abu Mansur al-Maturidi dan lainnya serta generasi penerus Aswaja
termasuk K.H Hasyim Asy’ary.
Dengan demikian, betapa pentingnya Aswaja dalam meluruskan agama khususnya
dalam bidang akidah. Oleh karena itu, dalam makalah ini, kami sedikit memperkenalkan
apa sebenarnya Ahlussunnah wal Jama’ah itu, bagaimana sejarah berdirinya,
kemudian cabang-cabangnya, i’tiqadnya, dalam bidang fiqh serta karakteristiknya.
B.
RUMUSAN
MASALAH
1.
Bagaimana
pengertian Ahlussunnah wal Jama’ah?
2.
Bagaimana
sejarah lahirnya Ahlussunnah wal Jama’ah?
3.
Bagaimana
cabang-cabang Ahlussunnah wal Jama’ah?
4.
Bagaimana
perbedaan pengertian dari kedua cabang Ahlussunnah wal Jama’ah?
5.
Bagaimana
i’tiqad kaum Ahlussunnah wal Jama’ah?
6.
Bagaimana
Aswaja di bidang tasawuf dan sumber hukum fiqh serta karakteristiknya?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Ahlussunnah Wal Jama’ah
Ahlussunnah wal
Jama’ah terdiri dari kata ahlun, artinya golongan, sunnah artinya
hadits, dan jama’ah artinya mayoritas. Maksudnya golongan orang-orang yang
ibadah dan tingkah lakunya selalu berdasarkan pada Al-Qur’an dan Hadits,
sementara pengambilan hukum islamnya mengikuti mayoritas ahli fiqh (sebagian
ulama ahli hukum Islam). Sedangkan dalam bidang tasawufnya mengikuti Junaid
al-Baghdadi dan Imam al-Ghazali.
Secara
linguistik Ahlussunnah wal Jama’ah dapat ditelusuri sebagai berikut :
a.
Ahl,
menurut Fairuzabadi dapat berarti pemeluk aliran atau pengikut madzhab jika
dikaitkan dengan aliran atau madzhab. Sedangkan menurut Ahmad Amin kata ahl
merupakan badal an-nisbah sehingga jika dikaitkan dengan al-sunnah mempunyai
arti orang yang berpaham sunni (al-suniyyun).
b.
Al-Sunnah
(disamping mempunyai arti al-hadits) mempunyai arti al-thariqah (baca:jalan).
Dengan demikian Ahl al-Sunnah adalah merupakan jalan (thariqah) para sahabat
Nabi dan tabi’in.
c.
Al-Jama’ah
adalah sekumpulan orang yang memiliki tujuan. Jika kata ini dikaitkan dengan
sekte-sekte Islam (al-madzahib al-Islamiyyah), maka hanya berlaku dikalangan Khawarij
ataupun Rafidhah belum dikenal penggunaan kata al-jama’ah. Sementara itu,
dikalangan Mu’tazilah tidak menerima Ijma’ sebagai suatu produk hukum.[1]
Dalam pengertian
yang lain, Ahlussunnah ialah penganut
Sunnah Nabi. Arti wal Jama’ah ialah penganut i’tiqad sebagai i’tiqad Jama’ah
sahabat-sahabat Nabi. Kaum Ahlussunnah wal Jama’ah adalah kaum yang menganut
i’tiqad sebagai i’tiqad yang dianut oleh Nabi Muhammad Saw. dan sahabat-sahabat
beliau. I’tiqad Nabi dan sahabat-sahabat itu termaktub dalam al-Qur’an dan
dalam Sunnah Rasul secara terpencar-pencar, belum tersusun secara rapi dan
teratur, tetapi kemudian dikumpulkan dan dirumuskan dengan rapi oleh seorang
ulama Ushuluddin yang besar, yaitu Syekh Abu Hasan ‘Ali al Asy’ary.[2]
Dalam ritual
agamanya, kaum Sunni (sebutan kaum yang mengikuti Ahlussunnah wal jama’ah)
menganut satu dari madzhab empat : (1) Imam Hanafi, yaitu madzhab imam Abu
Hanifah yang tinggal di Kufah, Irak pada 80 H dan meninggal tahun 150H. (2)
Imam Maliki, yaitu madzhab Imam Malik bin Anas yang lahir di Madinah pada 90 H
dan meninggal pada tahun 179 H. (3) Imam Syafi’i, yaitu madzhab Imam Syafi’i
yang lahir di Gazzah pada 150 H dan meninggal pada 204 H dan (4) Imam Hanbali, yaitu madzhab Imam Ahmad
bin Hanbal yang lahir di Marwas pada 164 H dan meninggal pada 241 H, serta
mengikuti Abu Hasan Al-Asy’ary dan Imam al-Maturidi dalam bidang akidah:
keduanya dipandang sebagai ulama besar yang telah berjasa mengibarkan bendera
“Ahlussunnah wal Jama’ah” dan menyatakan diri keluar dari faham Mu’tazilah.[3]
Ke-moderat-an
Ahlussunnah wal Jama’ah tercermin pada metode pengambilan hukum (istinbath)
yang tidak semata-mata menggunakan nash, namun juga memperhatikan posisi akal.
Begitu pula dalam wacana berfikir selalu menjembatani antara wahyu dengan
rasio. Metode inilah yang diimplementasikan oleh Imam Madzhab empat serta
generasi lapis berikutnya dalam menelorkan hukum-hukum pranata sosial.
Sikap netral
(tawazun) Aswaja berkaitan dengan sikap mereka dalam politik. Aswaja tidak
terlalu membenarkan kelompok garis keras. Akan tetapi, jika berhadapan dengan
penguasa yang lalim, mereka tidak segan-segan mengambil jarak dan mengadakan
aliansi. Dengan kata lain, suatu saat mereka bisa akomodatif, suatu saat bisa
lebih dari itu meskipun masih dalam batas tawazun. Ta’adul (keseimbangan)
Aswaja terefleksikan pada kiprah mereka dalam kehidupan sosial, cara mereka
bergaul serta kondisi sosial budaya mereka.[4]
B.
Sejarah
Lahirnya Ahlussunnah Wal Jama’ah
Di tengah
maraknya pertikaian antar faksi politik (firqah) yang dibungkus dengan sampul
aqidah, muncullah pemikiran sebagian tabi’in yang sejuk, moderat dan tidak
terlalu ekstrim. Kelompok terakhir ini tidak mau terseret lampau jauh dalam
aktifitas politik praktis. Mereka juga tidak mudah menuduh seseorang kafir.
Aktifitasnya lebih kultural (tsaqafiyyah), ilmiah dan berusaha mencari jalan
kebenaran secara jernih.
Komunitas ini
dipelopori oleh Imam Said Abu Hasan ibn Abi Hasan Yasar al-Bashri serta para
tabi’in yang lain. Mereka merujuk kepada ayat ke-54 Surah al-Hajj dalam mencari
kebenaran, yakni :
“Dan
orang-orang yang telah diberi ilmu, meyakini bahwasanya al-Qur’an itulah yang
haq dari Tuhanmu lalu mereka beriman dan tunduk hati mereka kepadanya dan
sesungguhnya Allah adalah pemberi petunjuk bagi orang-orang yang beriman kepada
jalan yang lurus.” (Q.S. Al-Hajj:54)
Sikap Hasan Basri inilah sebenarnya yang kemudian direduksi sebagai
pemikiran Ahlussunnah wal jama’ah. Tidaklah benar jika Aswaja baru muncul pada
masa Abu Hasan al-Asy’ary (w.324 H). Dari sikap dan pemikiran Hasan Basri ini
kemudian diteruskan oleh para muridnya serta generasi berikutnya, seperti Imam
Abu Hanifah al-Nu’man (w.150 H), Imam Malik ibn Anas (w.179 H), Imam Syafi’i
(w.204 H), ibn Kullab (w.204 H), Ahmad ibn Hanbal (w.241 H), Haris ibn Asad
al-Muhasibi (w.243 H). Barulah pada generasi Abu Hasan al-Asy’ary (w.324 H) dan
Abu Mansur al-Maturidi (w.333 H).
Memang tidaklah bisa dipungkiri bahwa Hasan Basri dianggap sebagai syaikh
(guru) bahkan tokoh dari berbagai firqah, baik Syi’ah, Muktazilah
maupun yang lainnya. Namun, realitas sikap dan pemikiran beliau adalah refleksi
seorang Sunni. Dengan demikian, semenjak beliaulah sebenarnya pemikiran Aswaja
itu dimulai.[5]
C.
Cabang
Ahlussunnah Wal Jama’ah
1.
Asy’ariyah
Aliran Ahlussunnah wal Jama’ah pada dasarnya tidak berbeda dengan
aliran Salaf.[6]
Para tokoh Ahlussunnah wal Jama’ah menyatakan bahwa mereka tidak mengemukakan
masalah baru, tapi meneruskan ajaran para Ulama Salaf, yakni para ulama sahabat
dan tabi’in. Akan tetapi secara resmi aliran ini terbentuk pada sekitar abad ke
13 H, sebagai reaksi terhadap aliran Mu’tazilah dan ajaran-ajarannya sekaligus
merumuskan kembali ajaran-ajaran Salaf secara terperinci.
Kemunculan aliran Ahlussunnah wal jama’ah itu dimulai dengan
kemunculan nama Abu Hasan Asy’ary, seorang yang mula-mula merupakan tokoh dan
pemimpin aliran Mu’tazilah selama tidak kurang dari 40 tahun, tapi kemudian
keluar dan mendirikan faham/aliran Ahlussunnah wal jama’ah Asy’ariah.
Menurut Husein bin Muhammad Askary, Abu Hasan Asy’ary itu murid
Al-Jabai, seorang tokoh Mu’tazilah. Asy’ary berotak cerdas dan berani
berhadapan dengan lawan berdebat, sedangkan Al-Jabai adalah seorang pengarang
yang baik, tapi lemah dalam perdebatan. Al-Jabai hampir selalu diwakili oleh
Asy’ary. Maka tidaklah mengherankan, kalau dikatakan bahwa Abu Hasan Asy’ary
itu seorang Mu’tazilah, tapi tidak seluruh pendapat kaum Mu’tazilah dia
setujui.[7]
2.
Maturidiah
Ada satu lagi cabang Ahlissunnah wal jama’ah yang pokok-pokok
pendiriannya sama dengan cabang Asy’ariah, ialah cabang Maturidiah. Tokoh
utamanya ialah Imam Abu Mansyur al-Maturidi dari Samarkand. Bedanya hanyalah
karena Abu Hasan al-Asy’ari itu penganut fiqh madzhab Syafi’i, sedangkan Abu
Mansyur al-Maturidi penganut fiqh madzhab Hanafi. Perbedaan itulah yang
kadang-kadang menyebabkan timbulnya perbedaan kecil dalam pengertian tauhid
antara keduanya.
Abu Mansyur al-Maturidi hidup sezaman dengan Abu Hasan al-Asy’ari.
Maturidi di Samarkand, sedangkan al-sy’ari di Bashrah dan memang zaman mereka
penuh dengan gerakan-gerakan keagamaan. Di zaman merekalah muncul
gerakan-gerakan tasawuf serta tokoh-tokoh besarnya, seperti Abu Yazid
al-Basthumi, al-Junaid dan al-Hallaj, gerakan Syi’ah dan hari-hari terakhir
gerakan Mu’tazilah yang masing-masing mempunyai kaum ulama yang memperkuat dan
membelanya.
Abu Hasan al-Asy’ari lahir dan meninggal di Bashrah tahun 330 H.
Sedangkan Abu Manshur al-Maturidi lahir dan meninggal di Samarkand pada tahun
332 H.[8]
D.
Perbedaan
Pengertian dari Kedua Cabang Ahlussunnah Wal Jama’ah
1.
Arti
Qadla’ dan Qadar
Menurut
al-Maturidi, qadar itu ialah ketentuan Allah yang azali atas segala sesuatu,
yakni, ketentuan-Nya tentang manfaat yang bakal didapat dan tempat serta waktu
yang disediakan-Nya. Sedangkan Qadla ialah pelaksanaan ketentuan qadar. Dalilnya ialah :
a.
Firman
Allah Swt, :
و
خلق كل
شيء فقدره
تقديرا (الفرقان
: ٢)
“Dan
Dia menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan
serapi-rapinya.” (Q.S Al-Furqaan : 25)
b.
Hadits
كتب الله مقا ديرا الخلاءق قبل ان يخلق السموات والا رض (الحديث)
“ Allah
menentukan segala ketentuan/ukuran semua makhluk, sebelum Dia menciptakan
llangit (tujuh) dan bumi.” (Hadits)
Menurut kaum Asy’ariah, qadla itu iala kehendak Allah yang azali yang
menentukan susunan segala yang ada berdasarkan tata-tertib tertentu. Sedangkan
arti qadar ialah hubungan kehendak tersebut dengan segala yang ada pada
waktu-waktu tertentu. Dalilnya ialah, menurut riwayat yang shahih, ada dua
orang Muzainah bertanya kepada Rasulullah Saw.: “Bagaimanan menurut Tuan
perbuatan yang diusahakan manusia itu, apakah itu merupakan hal yang telah
ditentukan sebelumnya dengan qadar Allah, ataukah masih akan dialaminya?”[9]
Jawab beliau:
لا بل شيء قضي عليهم .
“Tidak, tapi semua telah
dipastikan atas mereka . . .”
2.
Iman
Menurut al-Maturidiah, kalaupun Allah tidak mengutus seorang Rasul,
manusia pasti dengan akalnya dapat mengenal Allah Ta’ala, mengenal ke-Esaan-Nya,
mengenal sifat-sifat-Nya yang layak dan mengerti bahwa Allah itu pencipta alam
semesta. Dalil mereka ialah :
ان انذر قومك من قبل ان يا تيهم عذاب اليمز (نوح ١)
“Berilah kaummu peringatan
sebelum datang kepada mereka azab yang pedih.” (Q.S Nuh : 1)
Ayat ini menurut al-Maturidi, menunjukkan bahwa
Iman itu mesti ada pada semua makhluk, sebelum kepada mereka datang seorang
Rasul yang memberi peringatan. Kalau pada mereka tidak ada Iman, tentulah
mereka tidak akan takut dikenakan siksa, sebelum mereka kedatangan yang memberi
peringatan. Adanya peringatan dengan akan turunnya siksa itu menunjukkan bahwa
iman telah ada pada mereka dan Allah menyiksa mereka disebabkan mereka tidak
bertauhid, walaupun mereka tidak kedatangan seorang Rasul.
Sebaliknya, para ulama Asy’ariah berpendapat bahwa
iman itu tidak wajib dan kufur juga tidak haram sebelum diutusnya seorang
Rasul. Dalilnya ialah firman Allah Swt, :
وما كنا معذ بين حتى نبعث رسو لا. (الاسراء : ١٥)
“Dan Aku tidak akan menyiksa sebelum Aku mengutus seorang Rasul.” (Q.S Al-Israa’ :15)
Menurut Asy’ariah, ayat ini menunjukkan bahwa tidak ada siksa sebelum
sampainya ajaran agama. Artinya, sanksi atas pelanggaran hukum agama itu tidak
ada, sebelum agama itu sendiri ada dan disampaikan oleh seorang Rasul.
Alasan ini dijawab oleh kaum Maturidi bahwa siksa dalam ayat tersebut harus
diartikan sebagai persediaan yang tidak akan dijatuhkan sebelum diutusnya
seorang Rasul yang memperingatkan wajibnya beriman. Ini berarti bahwa sebelum
datangnya peringatan seorang Rasul itu pengertian iman berdasarkan akal dan
fikiran sudah ada secara naluriah. Iman naluriah itu ialah iman yang merupakan
pembawaan lahir manusia dan merupakan persiapan untuk menerima kedatangan
seorang Rasul. Kalau sesudah sampainya peringatan Rasul manusia masih belum mau
melaksanakan apa yang diminta oleh iman. Barulah siksa itu dijatuhkan. [10]
Mengenai hakikat iman, mereka juga berbeda. Kaum Maturidiah menyatakan
bahwa iman itu ialah الاقوار والتصد يق (mengakui dan membenarkan). Artinya, pengakuan itu ialah
sebagian dari iman dan merupakan salah satu rukun atau pokoknya. Alasannya
ialah iman itu menurut bahasa artinya membenarkan, dan membenarkan itu
sebagaimana dilakukan dengan hati dan lisan, sehingga pembenaran lisan itu
merupakan satu kesatuan pokok pengertian iman.
Menurut Asy’ariah, mengucapkan dua kalimat syahadat
itu bagi yang mampu adalah syarat iman, tapi tidak termasuk kerangka iman yang
berupa tasdiq. Firman Allah Swt. :
وقلبه مطمݵن با لايمان (النمل : ١٠٦)
“Dan hatinya tetap tenang dalam beriman.” (Q.S. An-Nahl : 106)
3. Mengenai ayat-ayat yang samar pengertiannya
Menurut al-Maturidiah, yang mengetahui
tafsir ayat-ayat mutasyabihat itu hanya Allah saja, sedangkan orang-orang yang
berilmu hanya boleh menyatakan beriman kepada Allah. Jadi, menurutnya,
ayat-ayat yang samar tidak boleh ditafsirkan oleh manusia.
Sedangkan menurut Asy’ariah, yang bisa
mengetahui tafsiran ayat yang samar itu hanyalah Allah dan ulama yang mantap
dalam ilmunya. Dengan demikian, menurut Asy’ariah, orang-orang yang berilmu itu
boleh menafsirkan ayat-ayat yang samar. Tetapi dengan ketentuan tidak
bertentangan dengan prinsip-prinsip tauhid. [11]
E. I’tiqad Kaum Ahlussunnah Wal Jama’ah
I’tiqad (faham) Kaum Ahlussunnah wal Jama’ah yang telah disusun oleh
Imam Abu Hasan al-Asy’ary yaitu :
1. Tentang Ketuhanan
2. Tentang Malaikat-malaikat
3. Tentang Kitab-kitab suci
4. Tentang Rasul-rasul
5. Tentang Hari Akhirat
6. Tentang Qadla dan Qadar [12]
1. Tentang Ketuhanan
Kita percaya seyakin-yakinnya, bahwa Tuhan
itu ada. Ia mempunyai banyak sifat. Boleh dikatakan bahwa Tuhan mempunyai
sekalian sifat Jamal (Keindahan), sifat Jalal (kebesaran) dan sifat Kamal
(kesempurnaan). Tetapi yang wajib kita ketahui dengan terperinci oleh setiap
orang Islam yang sudah baligh dan berakal adalah, 20 sifat wajib (mesti ada
pada Allah), 20 sifat mustahil (tidak mungkin ada pada Allah), dan 1 sifat yang
harus (boleh ada-boleh tidak) pada Allah.[13]
Orang yang tidak mengetahui secara mendalam
sifat-sifat itu, niscaya ia tidak akan mengerti dan tidak akan yakin hal-hal
yang bertalian dengan Tuhan atau Ketuhanan Yang Maha Esa. Adapun nama-nama
Tuhan adalah 99 banyaknya. Nama-nama
Tuhan tidak boleh dibuat-buat atau diada-adakan oleh manusia, tetapi harus
diterangkan oleh Nabi. Begitulah menurut faham Ahlussunnah wal jama’ah. Karena
itu Tuhan tidak diberi nama, umpanya dengan “Aqil” (Yang ber’aql) atau “Syahin
Syah” (Raja sekalian Raja” atau yang lain-lain.[14]
2. Tentang Malaikat
Ummat Islam kaum Ahlussunnah wal Jama’ah
mempercayai bahwa ada suatu makhluk halus, yang dijadikan dari nur (cahaya)
bernama Malaikat. Bagaimana hakikat tubuh dari malaikat itu hanya Tuhan yang
lebih tau, kita serahkan kepada Tuhan, karena kita tidak diwajibkan untuk
mengetahuinya. Yang wajib kita ketahui dan kita yakini ialah :
a. Malaikat itu banyaknya tidak terhitung.
Setiap malaikat mempunyai tugas masing-masing dari Tuhan. Mereka taat kepada
Tuhan atas sekalian perintah ynag diberikan kepada mereka.
b. Kita ummat Islam hanya diwajibkan
mengetahui 10 malaikat yang utama, yang mempunyai tugas masing-masing. Yaitu
Malaikat Jibril, Mikail, Israfil, Izrail, Munkar, Nakir, Raqib, ‘Atid, Malik
dan Malaikat Ridwan.[15]
Sehubungan dengan malaikat yang mempunyai tubuh yang halus ini, kita
ummat Islam wajib pula mempercayai adanya Jin. Bahkan didalam al-Qur’an ada
satu surah yang dinamai “surah Jin”, dimana dikisahkan di dalamnya hal ikhwal
yang bertalian dengan jin. Jin itu adalah sebangsa makhluk
halus yang dijadikan Tuhan dari api, sebagai halnya manusia dari tanah. Jin
sama dengan manusia, ada di antara mereka yang beriman kepada Nabi Muhammad
Saw. dan ada pula yang kafir, yang tidak mengakui Nabi Muhammad Saw.
و انا منا الصا لحون و منا دوون ذ لك كنا طوا ءق قددا (الجن : ١١)
“ Diantara kami ada yang
saleh dan diantara kami ada pula ynag bukan begitu, kami menempuh jalan yang
berlain-lain” (Q.S al-Jin : 11)
Kaum Ahlussunnah wal Jama’ah
juga mempercayai pula adanya suatu makhluk yang bernama iblis dan yang bernama
syaithan. Iblis selalu menggoda manusia supaya berbuat kejahatan, menggoda
manusia supaya durhaka kepada Allah Swt. durhaka kepada ibu-bapak dan menjadi
pengacau kepada masyarakat. Syaithan lebih jahat dari iblis, karena itu Tuhan
selalu menyuruh kita agar berlindung kepada Tuhan dari bahayanya syaithan
terkutuk.[16]
فاذ قرات القران فاستعذ با لله من الشيطان الر جيم (النحل : ۹۸)
“ Apabila engkau
hendak membaca Qur’an, mohonlah perlindungan kepada Allah dari Syaithan yang
terkutuk.” (Q.S An-Nahl : 11)
3. Tentang Kitab-Kitab Suci
Ummat Islam Ahlussunnah wal jama’ah
mempercayai adanya kitab-kitab suci yang diturunkan Tuhan kepada Rasul-rasulnya
untuk disampaikan kepada ummat manusia seluruhnya. Kitab-kitab suci itu banyak,
karena Rasul-rasul pun banyak, tetapi yang wajib kita percayai dengan
terperinci hanya 4, yaitu:
a. Kitab suci Taurat yang diturunkan kepada
Nabi Musa as.
b. Kitab suci Zabur yang diturunkan kepada
Nabi Daud as.
c. Kitab suci Injil yang diturunkan kepada
Nabi Isa as.
d. Kitab suci al-Qur’an yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad Saw.[17]
4. Tentang Rasul-Rasul
Ummat Islam kaum Ahlussunnah wal Jama’ah mempercayai sekalian Rasul-rasul Allah ynag
diutus Allah untuk menyampaikan kitab-kitab suci kepada manusia. Nabi-nabi dan
rasul-rasul itu sendiri dulu banyak, sampai 124.000, dan rasul-rasul 315 orang.
Permulaannya adalah Nabi ‘Adam as. dan penutupnya Nabi Muhammad Saw. Sesudah
Nabi Muhammad Saw. tidak ada lagi Nabi dan Rasul, beliau adalah Nabi
penghabisan, nabi akhir zaman.
Nabi-nabi dan Rasul-rasul yang wajib kita imani
adalah 25, yaitu yang tersebut dalam al-Qur’an saja, yang lain tidak wajib kita
ketahui. Walaupun dalam al-Qur’an pada surah as-Shaff ayat 6 ada disebutkan
bahwa akan ada seorang Rasul yang bernama “Ahmad” maka yang dimaksudkan ini
adalah Nabi Muhammad Saw. karena Nabi Muhammad Saw. dinamai juga Ahmad.[18]
Sifat-sifat yang wajib (mesti) ada pada Rasul
adalah 4 dan mustahilnya (tidak mungkin) ada 4 pula, yaitu :
a. Sidiq (benar) >< pendusta
b. Amanah (dipercaya) >< khianat
(mengingkari)
c. Tabligh (menyampaikan) ><
menyembunyikan
d. Fathanah (cerdas) >< baladah (bodoh)
Selain dari pada itu, kaum Ahlussunnah wal jama’ah
meyakini pula bahwa di antara Rasul-rasul itu ada 5 yang dinamai “Ulul ‘Azmi”,
yaitu Rasul-rasul yang sangat teguh dan sangat tahan dalam menjalankan
perintah-perintah Allah. Rasul-rasul Ulul ‘Azmi itu adalah Nabi Muhammad Saw,
Nabi Ibrahim as., Nabi Musa as., Nabi Isa as., Nabi Nuh as. Hal ini diterangkan
dalam al-Qur’an.
فا صبر كما صبر اولوا لعزم من الرسول (الاحقا ق : ۳۵)
“Dan sabarlah
engkau (tahanlah dalam percobaan) sebagaimana ketahanan Rasul-rasul Ulul
‘Azmi.” (Q.S AL-Ahqaq : 35)
Kaum
Ahlussunnah wal Jama’ah mempercayai bahwa setiap Rasul itu diberi perlengkapan
mu’jizat oleh Allah untuk memperkuat da’wah mereka masing-masing. Mu’jizat
ialah suatu hal yang luar biasa yang diberikan Tuhan kepada Rasul-rasul untuk
dijadikan alat memperkuat da’wah dan risalah yang dibawanya.[19]
5. Tentang Hari Akhirat
Ummat Islam mempercayai hari akhirat akan ada. Dalam bahasa Arab dinamai
“Yaumul Akhir”. Hari akhirat itu bermula setelah kita meninggal dunia sampai
ummat manusia masuk surga atau masuk neraka, sesuai dengan amal mereka
masing-masing. Surga dan neraka sekalian isinya dikekalkan Tuhan, sehingga
penduduk keduanya kekal dalam surga atau kekal dalam nerakambuat
selama-lamanya. Surga dan neraka tidak akan lenyap menurut i’tiqad Ahlussunnah
wal jama’ah dan akan lenyap menurut sebagian kaum Mu’tazilah.
Ummat Islam kaum Ahlussunnah wal Jama’ah wajib
percaya :
a. Setiap orang akan mati apabila umurnya
sudah habis. Umur itu sudah ada jangkanya oleh Allah. Kalau datang ajal
semuanya mesti mati, tidak terlambat satu detikpun dan juga tidak terdahulu. Ia
mati sesuai dengan ajalnya.
b. Setiap mati lantas dikubur dalam tanah.
Dalam kubur ditanyai oleh malaikat Munkar dan Nakir tentang siapa Tuhan, siapa
Nabi, siapa Imam dan lain sebagainya.
Orang-orang yang sudah mati dan telah sempurna dikuburkan lantas diberi
oleh Allah perasaan kembali, sehingga ia tahu soal-saola ynag dihadapkan
kepadanya. Orang yang tidak bisa menjawabnya akan disiksa di dalam kubur.
c. Kemudian apabila hari telah kiamat dan
semuanya sudah mati, maka seluruh manusia dihidupkan kembali oleh Allah dengan
suara nafiri (terompet) dari malaikat Israfil, lalu semuanya kumpul di padang
Mahsyar.
d. Sesudah itu ditimbang dosa dan pahalanya,
ditimbang mana yang berat dan mana yang banyak. Hari itu dinamakan “Yaumul
Hisab.”
e. Sekalian manusia melalui titian “ Sirathal
mustaqim” yang dibentangkan diatas neraka.
f. Sekalian manusia saleh (yang baik) langsung
masuk surga, tetapi orang-orang yang durhaka akan tergelincir dan jatuh masuk
neraka.
g. Orang kafir kekal dalam neraka, tetapi
orang Islam yang berbuat dosa dan sampai mati tidak pernah taubat maka orang
itu masuk neraka buat sementara. Dan setelah selesai hukumannya mereka akan
dikeluarkan dari neraka.
h. Orang-orang saleh akan ditambah ni’mat
karunia kepadanya, yaitu ni’mat melihat Tuhan yang tiada tara lezatnya.
i.
Yang dalam surga kekal salama-lamanya dan yang dalam
neraka kekal selama-lamanya.[20]
6. Tentang Qadla dan Qadar
Qadla menurut faham Ahlussunnah wal Jama’ah ialah ketetapan Tuhan pada
azal tentang sesuatu. Barang sesuatu yang akan terjadi semuanya sudah
ditentukan Tuhan sebelumnya dalam azal. Kita telah ditetapkan oleh Tuhan dalam
azal akan jadi orang Indonesia. Itu namanya qadla Tuhan. Hal ini tidak bisa
dirubah oleh siapapun. Kemudian kita dilahirkan di Indonesia, itulah qadar atau
taqdir Tuhan. Manusia wajib seyakin-yakinnya, bahwa yang terjadi diatas dunia
ini semuanya sudah qadla dan taqdir Tuhan, tidak terubah lagi dan tidak
seorangpun ynag sanggup merubahnya. Setiap manusia tidak bisa membebaskan diri
dari qadla dan qadar Tuhan. [21]
Allah Swt. berfirman dalam al-qur’an surah al-Qamar
ayat 49, yaitu :
انا لكل شئ خلقناه بقدر (القمر : ٤۹)
“ Sesunggunya
segala sesuatu Kami jadikan dengan taqdir.” (Q.S al-Qamar : 49)
Berkata Imam Nawawi dalam mengartikan ayat diatas :
“Allah Swt. telah tahu bahwa sesuatu itu akan terjadi pada waktu yang Ia
tentukan. Maka, sesuatu itu akan terjadi sesuai dengan taqdirnya.” Demikianlah
ummat Isam Ahlussunnah wal Jama’ah meyakini bahwa sesuatu yang terjadi sudah
ditaqdirkan oleh Illahi, kita hanya mendapati saja.
Hanya taqdir sesuatu itu kita tidak tahu
kepastiannya dan karena itu tidak boleh menunggu saja tanpa kerja. Bekerjalah,
berusahalah sehabis tenaga dan serahkanlah kepada Allah apa yang terjadi. “
Orang yang meletakkan benih diatas batu dan sesudah itu ia tunggu taqdir agar
benih itu tumbuh dan berbuah sendiriya, maka orang ini termasuk orang dungu
yang sangat bodoh”, kata Imam Ghazali.[22]
F. Ahlussunnah wal Jama’ah di bidang Tasawuf, Sumber
Hukum Fiqh dan Karakteristiknya
Dalam bidang tasawuf, Ahlussunnah wal Jama’ah mengikuti Junaid
al-Baghdadi dan Imam al-Ghazali. Menurut al-Junaid, tauhid tidak bisa
dibuktikan secara aqliyah, tidak bisa teoritis. Tauhid lebih merupakan eksperimen
untuk wushul illahi ta’ala bahkan menyatu dengan-Nya (al-ittihad).
Al-Junaid juga orang yang pertama kali mengklasifikasikan tauhid dalam empat
bagian, yaitu : tauhid al-a’wam, tauhid al-haqaiq bi ilm al-dzahir, tauhidul
al Khas min ahl al-ma’rifah. Imam al-Ghazali, adalah generasi penerus
al-Junaid dalam mengembangkan tauhid teosofis. Tasawufnya pun lebih cenderung
tasawuf falsafi.
Sumber hukum fiqh Ahlussunnah wal Jama’ah bersumber pada empat pokok,
yaitu :
1. Al-Qur’an, merupakan sumber hukum utama
yang merupakan wahyu dari Allah Swt. Semua madzhab fiqh sepakat menempakan
al-Qur’an sebagai sumber pertama dan utama dalam wacana penetapan hukum Islam
tasyri’ Islami.[23]
2. As-Sunnah, sumber hukum kedua , berupa
Hadits (sabda) dan Sunnah (perilaku) Nabi yang merupakan penjelasan dan tauladan
yang sesuai dengan al-Qur’an.
3. Al-Ijma’, sumber hukum yang ketiga, yaitu
kesepakatan para Ulama atas suatu hukum setelah wafatnya Nabi Muhammad Saw.
Ijma’ menurut Imam Ghazali merupakan prinsip keagamaan yang paling mendasar (a’dhamu
ushul al-din). Ijma’lah yang memberikan legitimasi terhadap al-Qur’an dan
hadits mutawatir.[24]
4. Al-Qiyas, sumber hukum keempat, yaitu
menyamakan sesuatu dengan sesuatu yang lain dalam hukum, karena adanya
‘illat yang sama antara keduanya. Imama
Syafi’i sangat menganjurkan memakai qiyas (mempertemukan sesuatu yang tak ada
nash hukumnya dengan hal lain ynag ada nash hukumnya karena ada persamaan
‘illat hukum). tetapi, qiyas yang dimaksudkan Imam Syafi’i tidaklah sekadar qiyas yang elementari (dasar).[25]
Sedangkan ciri pokok
atau karakteristik Ahlussunnah wal Jama’ah, yaitu :
1. Tawazun (seimbang), keseimbangan antara
urusan dunia dan akhirat.
2. Tawasuth (jalan tengah), dalam mengambil
keputusan harus menggunakan berbagai pertimbangan dan tidak memihak sebelah.
3. Tasamuh (toleransi), sikap saling
menghormati, tidak memaksakan kehendak dan menghargai perbedaan.
4. I’tidal (lurus), selalu berjalan lurus
dengan berpedoman pada kaidah-kaidah agama.
5. Amar ma’ruf nahi munkar, mengajak pada
kebenaran dan mencegah pada keburukan.[26]
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Ahlussunnah wal
Jama’ah adalah golongan orang-orang yang ibadah dan tingkah lakunya selalu
berdasarkan pada Al-Qur’an dan Hadits, sementara pengambilan hukum islamnya
mengikuti mayoritas ahli fiqh (sebagian ulama ahli hukum Islam) yang empat dan
dalam akidahnya mengikuti Imam Abu Hasan al-Basri dan Abu Mansyur al-Maturidi,
sedangkan dalam bidang tasawufnya mengikuti Junaid al-Bagdadi dan Imam
al-Ghazali.
Ahlussunnah wal
Jama’ah memiliki dua cabang, yaitu Asy’ariah dan al-Maturidiah. Al-Asy’ariah adalah
cabang Ahlussunnah wal Jama’ah yang tokoh utamanya adalah Abu Hasan al-Asy’ary,
sedangkan al-Maturidi cabang yang tokoh utamanya Abu Mansyur al-Maturidi. Kedua
cabang tersebut mempunyai perbedaan pengrtian mengenai arti qadla qadar, iman
dan ayat-ayat yang samar.
Menurut Abu
Hasan al-Asy’ary yang menjadi i’tiqad atau faham atau ajaran pokok Ahlussunnah
wal Jama’ah adalah enam pokok yang terkandung dalam rukun Iman. Dalam
menetapkan hukum, Aswaja bersumber pada empat polok, yaitu al-Qur’an,
Hadits/Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Sedangkan karakteristik yang sangat menonjol
pada Aswaja yaitu, tasamuh, tawazun, tawasuth, i’tidal dan amar ma’ruf nahi
munkar.
B.
SARAN
Dalam pembuatan makalah ini, tentunya masih terdapat banyak
kekurangan dan kesalahan, maka dari itu kami sangat mengharapkan kritik dan
saran guna memperbaiki penyusunan makalah selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
‘Abbas, Siradjuddin, 1985, I’tiqad Ahlussunnah
Wal-jama’ah, Jakarta : Pustaka Tarbiyah.
Abdul Fatah, Munawir 2006, Tradisi Orang-Orang NU
, Yogyakarta: PT. LKIS Priting
Cemerlang.
Jumadhi, 2016, Modul Lakmud, Purworejo : Tim
Kaderisasi PC IPNU-IPPNU.
Saleh, Abd.Rachman, 1985, Akhlak-Ilmu Tauhid,
Jakarta : Direktorat Pembinaan Perguruan
Agama Islam.
Siradj, Said Agil, 1998, Ahlussunnah Wal Jama’ah Dalam Lintas Sejarah, Yogyakarta
:
LKPSM.
[1]
Said Agil Siradj, Ahlussunnah Wal Jama’ah Dalam Lintas
Sejarah, (Yogyakarta : LKPSM, 1998), hlm.17-18.
[2]
Siradjuddin ‘Abbas, I’tiqad Ahlussunnah Wal-jama’ah, (Jakarta:
Pustaka Tarbiyah, 1985), hlm. 16.
[3] H. Munawir Abdul Fatah, Tradisi Orang-Orang NU, (Yogyakarta: PT.
LKIS Priting Cemerlang, 2006), hlm. 7.
[4]
Siradjuddin ‘Abbas, I’tiqad Ahlussunnah Wal-jama’ah...,
hlm.20-21.
[5]
Said Agil Siradj, Ahlussunnah Wal Jama’ah Dalam Lintas
Sejarah, hlm.49-51.
[6] Aliran salaf ialah aliran para ulama Sahabat dan Tabiiin. Pendirian mereka
bersifat prinsipil. Kalau ada lafadz al-Qur’an atau Hadits yang berarti
seolah-olah Allah memiliki sifat atau zat yang serupa dengan sifat atau zat
makhluk, merek serahkan saja pengertiannya kepada Allah Swt.
[7] Abd.Rachman Saleh, Akhlak-Ilmu Tauhid, (Jakarta : Direktorat
Pembinaan Perguruan Agama Islam, 1985), hlm.209.
[8]
Abd.Rachman Saleh, Akhlak-Ilmu Tauhid..., hlm.218.
[10]
Abd.Rachman Saleh, Akhlak-Ilmu Tauhid..., hlm.219-221.
[11]
Abd.Rachman Saleh, Akhlak-Ilmu Tauhid..., hlm.222-223.
[13]
Ibid..,hlm.37.
[14]
Ibid..,hlm.45-49.
[15]
Siradjuddin ‘Abbas, I’tiqad Ahlussunnah Wal-jama’ah...,hlm.49-50.
[16]
Ibid..,hlm.52-53.
[17]
Siradjuddin ‘Abbas, I’tiqad Ahlussunnah Wal-jama’ah...,hlm.54-55.
[18]
Ibid..,hlm.58-59.
[19]
Siradjuddin ‘Abbas, I’tiqad Ahlussunnah Wal-jama’ah...,hlm.66.
[20]
Siradjuddin ‘Abbas, I’tiqad Ahlussunnah Wal-jama’ah...,hlm.73-74.
[21]Ibid..,hlm.77.
[22]
Siradjuddin ‘Abbas, I’tiqad Ahlussunnah Wal-jama’ah...,hlm.79.
[23]
Said Agil Siradj, Ahlussunnah Wal Jama’ah Dalam Lintas
Sejarah..., hlm.82.
[24]
Said Agil Siradj, Ahlussunnah Wal Jama’ah Dalam Lintas
Sejarah..., hlm.83.
[25]Ibid.., hlm.85.
Komentar
Posting Komentar