Langsung ke konten utama

Smt 2 Ilmu Kalam Qadariyah & Jabariyah



QADARIYAH DAN JABARIYAH

Makalah ini disusun guna memenuhi tugas kelompok
Mata Kuliah: Ilmu Kalam
Dosen Pengampu: Mahmud Nasir, S.Fil, M.Hum

stainupwrlogo.gif


Disusun Oleh :
Kelompok 3
1.         Muhamad Farhan Anis
2.         Muhammad Zahid Atamimi
3.         Nani Nur Setiawanti
4.         Siti Kholifah
5.         Zainal Abidin


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NAHDLATUL ULAMA
PURWOREJO
2016

BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Dalam sejarah pemikiran islam, terdapat lebih dari satu aliran teologi yang berkembang. Aliran-aliran tersebut ada yang bersifat liberal, tradisional, dan antara aliran liberal dan tradisional. Kondisi demikian membawa hikmah bagi umat islam. Oleh karena itu, bagi mereka yang berpikiran liberal dapat menyesuaikan dirinya dengan aliran yang liberal tersebut, sementara bagi mereka yang berpikiran tradisional atau antara liberal dan tradisional, mereka akan menyesuaikan dirinya dengan aliran-aliran yang cocok dengan pikirannya.
Diantara berbagai macam aliran-aliran liberal, tradisional, dan antara aliran liberal dan tradisional itu terdapat aliran yang bernama aliran Qadariyah dan Jabariyah. Mengenai kedua aliran tersebut akan dibahas pada uraian-uraian dibawah ini.

B.       Rumusan Masalah
1.    Bagaimanakah pengertian aliran Qadariyah dan Jabariyah?
2.    Bagaimanakah sejarah aliran Qadariyah dan Jabariyah?
3.    Siapa sajakah tokoh yang ada di dalam aliran Qadariyah dan Jabariyah?
4.    Bagaimanakah ayat suci Al-Quran berkenaan dengan aliran Qadariyah dan Jabariyah?


BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian Qadariyah dan Jabariyah
1.      Pengertian Qadariyah
Ditinjau dari segi Ilmu Bahasa, kata Qadariyah berasal dari kata qadara-yaqdiru-al qadr yang berarti ketaatan dan kekuatan. Sedang menurut pengertian terminologi Qadariyah adalah suatu kaum yang tidak mengakui adanya qadar bagi Tuhan. Mereka menyatakan bahwa tiap-tiap hamba Tuhan adalah pencipta bagi segala perbuatannya; dia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Golongan yang melawan pendapat mereka ini adalah Jabariyah.[1]
Istilah Qadariyah, dalam konteksnya  dengan aliran teologi islam, merupakan kata musytarak. Disatu sisi kata Qadariyah merujuk kepada golongan yang meniadakan qadar Tuhan dan menetapkannya untuk manusia, dan disisi lain menunjuk kepada golongan kebalikannya yang menetapkan qadar dari Tuhan dan meniadakkanya dari manusia. Terhadap hal ini, Harun Nasution menegaskan bahwa sebuah qadariyah berasal dari pengertian manusia itu memiliki qudrah atau kekuasaan untuk mewujudkan kehendaknya, dan bukan dari pengertian manusia majbur atau terpaksa. Dalam bahasa Inggrisnya faham ini disebut free will dan free act.

2.      Pengertian Jabariyah
Secara etimologi, al-jabariyah berasal dari kata jabr atau ijbar yang diambil dari kata jabara yang berarti memaksa. Adapun menurut istilah dalam teologi Islam, Jabariyah adalah nama yang diberikan kepada sekte dalam islam yang berpandangan bahwa manusia tidak mempunyai kekuatan apa-apa untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu. Manusia dalam keadaam terpaksa (majbur) dalam segala perbuatannya, tidak ada kesempatan untuk memilih dan berikhtiar.[2] Menurut al-Syahrastani, al-jabr berarti meniadakan perbuatan manusia dalam arti yang sesungguhnya (nafy al-fi’il ‘al al’abd haqiqah) dan menyandarkan perbuatan itu kepada Tuhan. Menurut paham ini, manusia tidak kuasa atas sesuatu. Karena itu, manusia tidak dapat diberi sifat “mampu” (istitha’ah). Manusia sebagaimana dikatakan, Jahm bin Shafwan, terpaksa atas perbuatan-perbuatannya tanpa ada kuasa (qudrah), kehendak (iradah), dan pilihan bebas (al-ikhtiyar). Tuhanlah yang menciptakan perbuatan manusia, sebagaimana perbuatan Tuhan atas benda-benda mati. Oleh karena itu, perbuatan yang disandarkan kepada manusia harus dipahami secara majazy, seperti halnya perbuatan yang disandarkan pada benda-benda. Misalnya ungkapan, “Pohon berbuah, air mengalir, dan batu bergerak.”
Dengan demikian menurut Jabariyah, perbuatan manusia bukanlah perbuatan manusia itu sendiri, melainkan ciptaan Tuhan yang dilaksanakan melalui organ fisik manusia. Sehingga manusia tidak memiliki otoritas untuk bertindak. Manusia tidak ubahnya seperti batu yang bergerak, matahari terbit dan terbenam, bulu yang terbang yang semua itu Tuhanlah yang melakukan. Konsekuensi logis dari pendapat ini, seseorang mukmin tidak akan menjadi kafir karena perbuatan dosa yang dilakukannya, karena ia melakukan sesuatu yang dikehendaki oleh Tuhan secara terpaksa.
Al-Syahrastani membagi Jabariyah ke dalam dua kelompok, yaitu Jabariyah ekstrem (al-khalisah) dan Jabariyah moderat (al-Mutawassithah), Jabariyah eksterem tidak menetapkan perbuatan kepada manusia sama sekali, tidak pula kekuasaan atau daya untuk menimbulkan perbuatan. Sementara Jabariyah moderat mengakui andil manusia atas perbuatannya.
Menurut paham ini manusia tidak hanya bagaikan wayang yang digerakkan oleh dalang, tapi manusia telah mempunyai bagian dalam perwujudan perbuatan-perbuatannya.[3]

B.       Sejarah Qadariyah dan Jabariyah
Kata sejarah berasal dari bahasa arab yaitu syajarah yang berarti pohon. Sedangkan menurut istilah sejarah berarti menceritakan kejadian yang telah terjadi pada masa lampau.
Mengenai sejarah Qadariyah dan Jabariyah berikut adalah sejarah timbulnya aliran Qadariyah dan Jabariyah:
1.      Sejarah Qadariyah
Faham Qadariyah muncul pertama kali sebelum pertengahan abad ke-8 M, dan yang membawanya ke lingkungan umat islam adalah Ma’bad al-Juhani dan Ghilan Dimisyqi. Dijelaskan di dalam sebuah kitab berjudul Syarh al-Uyun, bahwa faham Qadariyah ini semula berasal dari seorang Kristen, penduduk Irak bernama Abu Yunus Sansaweh. Mula-mula ia masuk Islam, kemudian murtad dan kembali ke agama Kristen. Dari orang inilah Ma’bad dan Ghilan mengambil faham ini.[4]
Lahirnya paham Qadariyah dalam Islam dipengaruhi oleh paham bebas yang berkembang di kalangan pemeluk agama Masehi (Nestoria). Dalam hal ini, Max Hortan, berpendapat bahwa teologi Masehi di dunia Timur pertama-tama menetapkan kebebasan manusia dan pertanggungjawabannya yang penuh dalam segala tindakannya. Karena dalil-dalil mengeai pendapat ini memuaskan golongan bebas islam (al-Qadiyah), mereka merasa perlu mengambilnya.
Menurut al-Zahabi dalam kitab, Mizan al-I’tidal, yang dikutip oleh Ahmad Amin bahwa Ma’bad al-Juhani adalah seorang tabi’in yang dapat dipercaya (baik), tetapi ia telah memberi contoh dengan hal yang tidak terpuji, yaitu mengatakan tentang tidak adanya qadar bagi Tuhan. Dialah penyebar paham Qadariyah di Irak. Suatu kali, dia memasuki lapangan politik untuk menentang kekuasaan Bani Umayyah dengan cara memihak kepada Abdurrahman bin Asy’al, Gubernur Sajistan. Hal ini mengakibatkan peristiwa yang tragis baginya, ketika dia bertempur dengan al-Hajjaj dia terbunuh. Hal ini terjadi pada tahun 80 H. Sebagian orang mengatakan kematiannya disebabkan oleh masalah politik, tetapi banyak juga orang yang mengatakan bahwa kematiannya disebabkan oleh kezindikannya (paham Qadariyah).
Adapun Ghailan al-Dimasyqi (Abu Marwan Ghailan bin Muslim) adalah penyebar paham al-Qadariyah di Damaskus. Dia seorang orator, tidak heran jika banyak orang yang tertarik untuk mengikuti pahamnya. Dalam menyebarkan pahamnya, dia mendapatkan tantangan dari Khalifah al-Adil Umar bin Abdul Aziz. Setelah khalifah mangkat, dia meneruskan penyebaran pahamnya hingga pada akhirnya dia dihukum mati oleh Khalifah Hisyam bin Abdul Malik bin Marwan. Sebelum dilaksanakan hukum mati, sempat diadakan perdebatan antara Ghailan dengan al-Auza’i yang dihadiri dan disaksikan oleh Khalifah Hisyam.
Motif timbulnya paham al-Qadariyah ini, menurut hemat penulis disebabkan oleh dua faktor. Pertama, faktor ekstern yaitu agama Nashrani, jauh sebelumnya mereka telah memperbincangkan tentang qadar Tuhan dalam kalangan mereka. Kedua, faktor intern yaitu reaksi terhadap paham Jabariyah dan merupakan upaya protes terhadap tindakan-tindakan penguasa Bani Umayah yang bertindak atas nama Tuhan dan berdalih kepada takdir Tuhan. Paham Qadariyah yang disebarluaskan oleh dua sekawan ini banyak mendapat tantangan. Penguasa yang berwenang ketika itu, juga oleh generasi terakhir dari para sahabat, seperti Abdullah bin Umar, Jabir bin Abdullah, Abu Hurairah, Ibnu Abbas, Anas bin Malik, dan lain-ain. Bahkan mereka menghimbau kepada generasi penerusnya agar tidak mengikuti paham Qadariyah, tidak usah menyembahyangkan jenazah-jenazahnya dan tidak perlu membesuknya jika mereka sakit. Hal demikian dapat dimaklumi sebab menurut pendapat mereka, berdasarkan hadis/atsar yang diterimanya, kaum Qadariyah merupakan majusi umat Islam, dalam arti golongan yang tersesat.[5]
Apakah dengan kematian tokoh-tokohnya dan besarnya tantangan terhadapnya, kemudian paham Qadariyah ini mati atau terhenti?. Memang benar secara organisasi/aliran mereka tidak berwujud lagi, tetapi eksistensi ajarannya masih tetap berkembang, yaitu dianut oleh kaum al-Mu’tazilah.

2.      Sejarah Jabariyah
Dalam ajaran praksis, bibit-bibit faham Jabariyah ini sebenarnya sudah ada dalam praktek kehidupan masyarakat Arab sebelum Islam. Pada saat itu, menurut Harun Nasution, bangsa Arab hidup sederhana dan masih jauh dari ilmu pengetahuan. Mereka terpaksa menyesuaikan hidup dengan nuansa padang pasir yang tandus dan gersang. Dalam kondisi demikian, mereka tidak melihat adanya jalan untuk merubah keadaan. Mereka merasa dirinya lemah, tidak berkuasa dan akhirnya banyak bergantung kepada kehendak alam. Hal ini telah membawa mereka kepada sikap hidup yang fatalitas.
Dalam prespektif sejarah teologi, Jabariyah merupakan kelompok sempalan Murji’ah. Dalam kaitan ini, Harun Nasution telah melakukan pembagian Murji’ah atas murji’ah moderat dan Murji’ah ekstrimis.
Pola pikir Jabariyah kelihatannya sudah dikenal bangsa Arab sebelum Islam. Keadaan mereka yang bersahaja dengan lingkungan alam yang gersang dan tandus, menyebabkan mereka tidak dapat melakukan perubahan-perubahan sesuai dengan kemauan mereka. Akibatnya, mereka lebih beruntung pada kehendak alam. Keadaan ini membawa mereka pada sikap pasrah dan fatalistik.
Pada masa Nabi, benih-benih paham Jabariyah itu sudah ada. Pedebatan di antara para sahabat di seputar masalah qadar Tuhan merupakan salah satu indikatornya. Nabi menyuruh umat Islam beriman kepada takdir, tetapi beliau melarang mereka membicarakannya secara mendalam. Pada masa sahabat (Khulafa al-Rasyidin) kelihatanya sudah ada orang yang berfikir Jabariyah. Diceritakan bahwa Umar bin al-Khaththab pernah menangakap seorang pencuri. Ketika diintrogasi, pencuri itu berkata, “Tuhan telah menentukan aku mencuri.” Umar menghukum pencuri itu dan mencambuknya berkali-kali. Ketika keputusan itu ditanyakan kepada Umar, ia menjawab: “Hukum potong tangan untuk kesalahannya mencuri, sedang cambuk (jild) untuk kesalahannya menyadarkan perbuatan dosa kepada Tuhan”.
Sebagian sahabat memandang imam kepada takdir yang dapat meniadakan rasa takut dan waspada. Ketika Umar menolak masuk di suatu kota yang di dalamnya terdapat wabah penyakit, mereka berkata: “Aku lari dari takdir Tuhan ke takdir Tuhan yang lain.” Perkataan Umar ini nenunjukkan bahwa takdir Tuhan melingkupi manusia dalam segala keadaan. Akan tetapi, manusia tidak boleh mengabaikan sebab-sebab terjadinya sesuatu yang memiliki sebab berada di bawah kekuasaan manusia (maqdurah).
Pada masa pemerintahan Bani Umayah, pandangan tentang jabar semakin mencuat kepermukaan. Abdullah bin Abbas dengan suratnya, memberi reaksi keras kepada penduduk Syiria yang diduga berpaham Jabariyah. Hal yang sama dilakukan pula oleh Hasan al-Bashri kepada penduduk Bashrah. Kenyataan ini menunjukkan bahwa pada waktu itu sudah mulai banyak orang yang berpaham Jabariyah.
Dari bukti-bukti  di atas dapat dikatakan bahwa cikal-cikal paham Jabariyah sudah muncul sejak awal periode Islam. Namun, Jabariyah sebagai suatu pola pikir (mazhab) yang dianut, dipelajari, dan dikembangkan terjadi pada akhir pemeritahan Bani Umayah.
Paham ini ditimbulkan untuk pertama kalinya oleh, Ja’ad bin Dirham. Akan tetapi, yang menyebarkannya adalah Jahm bin Shafwan. Ja’ad sendiri menerima paham ini dari dari orang Yahudi di Syiria. Pendapat lain menyatakan bahwa Ja’ad menerimanya dari Aban bin Syam’al, dan yang terakhir ini menerimanaya dari Thalut bin Asham al-Yahudi. Dengan demikian, paham al-Jabariyah berasal dari pemikiran asing, Yahudi maupun Persia.

C.      Tokoh dalam Aliran Qadariyah dan Jabariyah
Berikut adalah beberapa tokoh yang tersohor sebagai tokoh-tokoh Qadariyah dan Jabariyah:
1.      Tokoh aliran Qadariyah
Berikut adalah beberapa tokoh yang berperan dalam berkembangnya aliran Qadariyah yaitu:
a.       Ghilan al-Dimasyqi
Ghilan al-Dimasyqi berpendapat bahwa manusia sendirilah yang berkuasa atas perbuatan-perbuatannya. Manusia melakukan perbuatan-perbuatan baik atas kehendak dan kekuassan sendiri dan manusia sendiri pulalah yang melakukan atau menjauhi perbuatan-perbuatan jahat atas kemauan dan dayanya sendiri.
b.      Ma’bad al-Juhani
Ma’bad menyebarkan pahamnya di Irak dalam waktu yang relatif singkat, tetapi dengan hasil yang gemilang. Banyak yang tertarik dan menganut pahamnya.[6]
c.       Al-Nazam
Ia salah seorang pemuka Qadariyah yang mengatakan, manusia hidup itu mempunyai istitha’ah. Selagi manusia hidup, dia mempunyai istitha’ah (daya) maka dia berkuasa atas segala perbuatannya.
d.      Al-Jubba’i
Al-Jubba’i mengatakan bahwa manusialah yang menetapkan perbuatan-perbuatannya, manusia berbuat baik dan buruk, patuh dan tidak patuh kepada Tuhan atas kehendak dan kemauannya sendiri. Daya untuk mewujudkan kehendak itu telah terdapat dalam diri manusia, sebelum adanya perbuatan.
e.       Abdul Jabbar
Ia berargumen bahwa perbuatan manusia akan terjadi sesuai dengan kehendaknya. Jika seseorang ingin berbuat sesuatu, perbuatan tersebut  terjadi. Sebaliknya, jika dia tidak ingin berbuat sesuatu, tidaklah terjadi perbuatan itu. Jika sekiranya perbuatan tersebut perbuatan Tuhan maka perbuatan tersebut tidak akan terjadi, sungguhpun dia menginginkannya, dan sebaliknya perbuatan tersebut akan terjadi, sungguhpun dia sangat tidak menginginkannya.

2.      Tokoh aliran Jabariyah
Berikut adalah beberapa tokoh yang berperan dalam aliran Jabariyah:
a.       Ja’ad bin Dirham
Ja’ad adalah orang pertama yang mengenalkan paham Jabariyah di kalangan umat Islam. Ia seorang bekas budak (mawla) Bani Hakam, ia tinggal di Damsyik, sampai muncul pendapatnya tentang Al-Quran sebagai makhluk. Karena pendapatnya ini, ia dibenci oleh Bani Umayyah. Sejak itu, ia pergi ke Kufah.
Ja’ad bin Dirham ini dihukum mati oleh penguasa pada tahun 124 H. Sebab fatwa-fatwanya yang ilhad dan zindik.[7]
b.      Jahm bin Shafwan
Jahm termasuk muslim non-Arab (mawali). Ia berasal dari Khurasan. Mula-mula ia tinggal di Tirmidz, lalu di Balkh. Namanya terkadang dinisbatkan ke Samarkand, terkadang pula ke Tirmidz. Ia dikenal ahli pidato dan pandai berdialaog. Jahm juga menjabat sebagai sekretaris Haris bin Syuraih di Khurasan, ia turut serta dalam gerakan melawan Bani Umayah.
Baik juga diketahui bahwa Jahm bin Shafwan, Imam kaum Jabariyah ini adalah murid Ja’ad bin Dirham, yaitu pelopor fatwa yang mengatakan bahwa Qur’an itu makhluk dan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat.[8]
c.       Husain al-Najjar
Husain al-Najjar merupakan salah seorang tokoh Jabaiyah moderat. Pengikut-pengikutnya dikenal dengan sebutan “al-Najjariyah”. Menurut Husain, Tuhan berkehendak dan mengetahui karena diri-Nya sendiri. Ia menghendaki kebaikan dan keburukan, manfaat dan mudharat. Yang dimaksud berkehendak disini ialah bahwa Tuhan tidak terpaksa atau dipaksa.
d.      Dirar bin ‘Amr
Dirar juga salah seorang pemuka Jabariyah moderat. Sebagaimana Husain, ia berpendapat bahwa manusia punya andil dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Dalam pandangan Dirar, satu perbuatan dapat timbul dari dua pelaku, yaitu Tuhan dan manusia. Tuhan menciptakan perbuatan, dan manusia memperolehnya. Tuhan adalah pencipta hakiki dari perbuatan manusia. Dalam pada itu, manusia juga pelaku hakiki dari perbuatannya. Daya manusia menurut Dirar diberikan Tuhan sebelum danbersamaan dengan perbuatan.

D.      Ayat Suci Al-Qur’an Berkenaan dengan Qadariyah dan Jabariyah
Berikut adalah beberapa ayat suci Al-Qura’an yang digunakan oleh kelompok Qadariyah dan Jabariyah untuk memperkuat pendapatnya:
1.      Ayat suci yang berkenaan dengan Qadariyah
Diatara ayat suci Al-Qur’an yang digunakan untuk memperkuat pendapat tentang Qadariyah adalah sebagai berikut:
a.       Qur’an Surah al-Muddaststsir (74) ayat 38
Yang artinya: “Tiap-tiap jiwa terikat dengan apa yang telah diperbuatnya.”
b.      Qur’an Surah al-Kahfi (18) ayat 29
Yang artinya: “Maka siapa yang hendak beriman berimanlah, dan siapa yang hendak kafir kafirlah.”
c.       Qur’an Surah al-Insan (76) ayat 3
Yang artinya: “Sesungguhnya kami telah menunjukkan kepadanya jalan, adakalanya dia bersyukur dan adakalnya mengingkari.”
d.      Qur’an Surah al Muzzammil (73) ayat 19
Yang artinya: “Sesungguhnya ini adalah peringatan, siapa yang ingin, tentu dia mengambil jalan kepada Tuhannya.”
e.       Qur’an Surah Fushshilat (41) ayat 46
Yang artinya: “Barangsiapa berbuat baik maka itu adalah buat dirinya, dan barangsiapa berbuat jahat maka itu merugikan dirinya. Dan tiadalah Tuhanmu aniaya terhadap hamba-hamba-Nya.”
f.       Qur’an Surah an-Najm (53) ayat 39-41
Yang artinya: “Dan bahwasanya tiadalah bagi manusia, kecuali apa yang telah dikerjakannya. Dan bahwasannya usahanya itu akan diperlihatkan. Kemudian ia akan diberi balasan yang paling sempurna.”
g.      Qur’an Surah an-Nisa (4) ayat 111
Yang artinya: “Dan barangsiapa melakukan suatu dosa, maka sesungguhnya ia melakukannya untuk merugikan dirinya sendiri.”

2.      Ayat suci yang berkenaan dengan Jabariyah
Diatara ayat suci Al-Quran yang digunakan untuk memperkuat pendapat tentang Jabariyah adalah sebagai berikut:
a.       Quran Surah al-An’am (6) ayat 111
Yang artinya: “Mereka sebenarnya tidak percaya sekiranya Allah tidak menghendaki.”
b.      Quran Surah al-Anfal (8) ayat 17
Yang artinya: “Bukanlah engkau yang melontar ketika engkau melontar (musuh), tetapi Allah-lah yang melontar (mereka).”
c.       Quran Surah al-Insan (76) ayat 30
Yang artinya: “Kamu tidak menghendaki, kecuali Allah menghendaki.”
d.      Quran Surah Hud (11) ayat 107
Yang artinya: “Mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghedaki.”



BAB III
PENUTUP


Kesimpulan
Qadariyah adalah suatu kaum yang tidak mengakui adanya qadar bagi Tuhan. Mereka menyatakan bahwa tiap-tiap hamba Tuhan adalah pencipta bagi segala perbuatannya; dia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri.
Kebalikan dari golongan Qadariyah adalah Jabariyah yang menyatakan bahwa manusia tidak mempunyai kekuatan apa-apa untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu. Manusia dalam keadaam terpaksa (majbur) dalam segala perbuatannya, tidak ada kesempatan untuk memilih dan berikhtiar.
Tokoh-tokoh aliran Qadariyah antara lain ialah Ghilan al-Dimasyqi, Ma’bad al-Juhani, Al-Nazam, Al-Jubba’i, dan Abdul Jabbar. Sedang tokoh-tokoh dari aliran Jabariyah antara lain ialah Ja’ad bin Dirham, Jahm bin Shafwan, Husain al-Najjar, dan Dirar bin ‘Amr.
                                                                                      





DAFTAR PUSTAKA

Muhammad Amin Nurdin, Afifi Fauzi Abbas, Sejarah Pemikiran Islam, Jakarta: Amzah, 2012.
Muniron, Ilmu Kalam Sejarah Metode Ajaran dan Analisa Perbandingan, Jember: STAIN Jember Press, 2015.
Yusran Asmuni, Dirasah Islamiyah II, Jakarta: PT Raja Grafindo, 1996.
Siradjuddin Abbas, I’tiqad Ahlusunnah wal-Jama’ah, Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 1995.





[1] Muhammad Amin Nurdin, Afifi Fauzi Abbas, Sejarah Pemikiran Islam, (Jakarta: Amzah), hlm. 32.
[2] Muniron, Ilmu Kalam Sejarah Metode Ajaran dan Aanalisa Perbandingan, (Jember: STAIN Jember Press), hlm. 66.
[3] Yusran Asmuni, Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: PT Raja Grafindo), hlm. 75.
[4] Muniron, Ilmu Kalam Sejarah Metode Ajaran dan Aanalisa Perbandingan, (Jember: STAIN Jember Press), hlm. 71.
[5] Muhammad Amin Nurdin, Afifi Fauzi Abbas, Sejarah Pemikiran Islam, (Jakarta: Amzah), hlm 33-35.
[6] Yusran Asmuni, Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: PT Raja Grafindo), hlm. 74.
[7] Siradjuddin Abbas, I’tiqad Ahlusunnah wal-Jama’ah, (Jakarta: Pustaka Tarbiyah), hlm. 244.
[8] Ibid,. hlm. 244.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Smt 5 Ushul fiqih Hakim hukum mahkum Fih Mahkum 'alaih

    HAKIM, HUKUM, MAHKUM FIIH, MAHKUM ‘ALAIH Makalah I ni D isusun G una M emenuhi T ugas K elompok Mata Kuliah :   Ushul Fiqih Dosen Pengampu :   Yusuf Effendi , M.Pd. Disusun Oleh: 1.      Kun Amiina                        (15120026) 2.      M. Lutfil Makin                  (15120036) Semester 5 B PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM JURUSAN TARBIYAH SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NAHDLATUL ULAMA PURWOREJO 2017 BAB I PENDAHULUAN A.     LATAR BELAKANG Di dalam agama Islam, dalam menjalankan kehidupan sehari-hari ini kita tidak pernah terlepas dari hukum-hukum syar’i. Hukum yang mengatur tentang perbuatan-perbuatan seo...

Smt 1 Psikologi Umum gejala Campuran

GEJALA CAMPURAN (PERHATIAN, KELELAHAN, SUGESTI DAN KELUPAAN) Paper Ini Disusun Guna Memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah : Psikologi Umum Dosen Pengampu : Akhid Lutfian, S.Pd, M.Pd Disusun Oleh (Kelompok 15) : Akmal Maulana Subchi Kun Amiina Pariyati Semester 1B PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM JURUSAN TARBIYAH SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NAHDLATUL ULAMA PURWOREJO 2015 PENDAHULUAN LATAR BELAKANG Berbicara tentang jiwa, terlebih dahulu kita harus dapat membedakan antara nyawa dan jiwa. Dimana nyawa adalah daya jasmanilah yang adanya tergantung pada hidup jasmani yaitu perbuatan yang ditimbulkan oleh proses belajar, misalnya insting, refleks dan nafsu. Sedangkan jiwa adalah daya hidup rohaniah yang menjadi penggerak dan penyalur bagi sekalian perbuatan pribadi. Pada umumnya manusia tak mungkin lepas dari kondisi lingkungan. Tanpa disadari kondisi lingkungan tersebut dapat mengakibatkan pergeseran atau terjadinya kejiwaan dan apabila manusi...

Smt 1 Al-Qur'an Jadal

BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Hakikat-hakikat yang sudah ada jelas nampak   dan   nyata   telah   dapat   disentuh   manusia,   dibeberkan   oleh   bukti-bukti   alam   dan   tidak   mememrlukan   lagi   argument lain untuk menetapkan   dalil   atas   kebenarannya. Namun   demikian, kesombongan   seringkali   mendorong   seseorang   untuk membangkitkan   keraguaan dan mengacu hakikat   tersebut   dengan   keracunan yang   dibungkus   dengan baju   kebenaran   serta   dihiasi   dengan cermin   akal.   Usaha   demikiaan   perlu    dihadapi dengan    hujjah agar   hakikat-hakikat   tersebut   mendapatkan   pengakuan   yang    semestinya,   dipercayai   atau malah   diingkari. Al-Qur an,    seru...