QADARIYAH
DAN JABARIYAH
Makalah ini disusun
guna memenuhi tugas kelompok
Mata Kuliah: Ilmu Kalam
Dosen Pengampu: Mahmud
Nasir, S.Fil, M.Hum

Disusun Oleh :
Kelompok 3
1.
Muhamad Farhan Anis
2.
Muhammad Zahid Atamimi
3.
Nani Nur Setiawanti
4.
Siti Kholifah
5.
Zainal Abidin
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
JURUSAN
TARBIYAH
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NAHDLATUL ULAMA
PURWOREJO
2016
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Dalam sejarah pemikiran islam, terdapat
lebih dari satu aliran teologi yang berkembang. Aliran-aliran tersebut ada yang
bersifat liberal, tradisional, dan antara aliran liberal dan tradisional.
Kondisi demikian membawa hikmah bagi umat islam. Oleh karena itu, bagi mereka
yang berpikiran liberal dapat menyesuaikan dirinya dengan aliran yang liberal
tersebut, sementara bagi mereka yang berpikiran tradisional atau antara liberal
dan tradisional, mereka akan menyesuaikan dirinya dengan aliran-aliran yang
cocok dengan pikirannya.
Diantara berbagai macam aliran-aliran
liberal, tradisional, dan antara aliran liberal dan tradisional itu terdapat
aliran yang bernama aliran Qadariyah dan Jabariyah. Mengenai kedua aliran
tersebut akan dibahas pada uraian-uraian dibawah ini.
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimanakah
pengertian aliran Qadariyah dan Jabariyah?
2. Bagaimanakah
sejarah aliran Qadariyah dan Jabariyah?
3. Siapa
sajakah tokoh yang ada di dalam aliran Qadariyah dan Jabariyah?
4. Bagaimanakah
ayat suci Al-Quran berkenaan dengan aliran Qadariyah dan Jabariyah?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Qadariyah dan Jabariyah
1. Pengertian
Qadariyah
Ditinjau dari segi Ilmu Bahasa, kata Qadariyah
berasal dari kata qadara-yaqdiru-al qadr yang
berarti ketaatan dan kekuatan. Sedang menurut pengertian terminologi Qadariyah
adalah suatu kaum yang tidak mengakui adanya qadar bagi Tuhan. Mereka menyatakan bahwa tiap-tiap hamba Tuhan
adalah pencipta bagi segala perbuatannya; dia dapat berbuat sesuatu atau
meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Golongan yang melawan pendapat mereka
ini adalah Jabariyah.[1]
Istilah Qadariyah, dalam konteksnya dengan aliran teologi islam, merupakan kata
musytarak. Disatu sisi kata Qadariyah merujuk kepada golongan yang meniadakan qadar Tuhan dan menetapkannya untuk
manusia, dan disisi lain menunjuk kepada golongan kebalikannya yang menetapkan qadar dari Tuhan dan meniadakkanya dari
manusia. Terhadap hal ini, Harun Nasution menegaskan bahwa sebuah qadariyah
berasal dari pengertian manusia itu memiliki qudrah atau kekuasaan untuk mewujudkan kehendaknya, dan bukan dari
pengertian manusia majbur atau
terpaksa. Dalam bahasa Inggrisnya faham ini disebut free will dan free act.
2. Pengertian
Jabariyah
Secara etimologi, al-jabariyah berasal dari kata jabr
atau ijbar yang diambil dari kata jabara yang berarti memaksa. Adapun
menurut istilah dalam teologi Islam, Jabariyah adalah nama yang diberikan
kepada sekte dalam islam yang berpandangan bahwa manusia tidak mempunyai
kekuatan apa-apa untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu. Manusia dalam
keadaam terpaksa (majbur) dalam
segala perbuatannya, tidak ada kesempatan untuk memilih dan berikhtiar.[2]
Menurut al-Syahrastani, al-jabr
berarti meniadakan perbuatan manusia dalam arti yang sesungguhnya (nafy al-fi’il ‘al al’abd haqiqah) dan
menyandarkan perbuatan itu kepada Tuhan. Menurut paham ini, manusia tidak kuasa
atas sesuatu. Karena itu, manusia tidak dapat diberi sifat “mampu” (istitha’ah). Manusia sebagaimana
dikatakan, Jahm bin Shafwan, terpaksa atas perbuatan-perbuatannya tanpa ada
kuasa (qudrah), kehendak (iradah), dan pilihan bebas (al-ikhtiyar). Tuhanlah yang menciptakan
perbuatan manusia, sebagaimana perbuatan Tuhan atas benda-benda mati. Oleh
karena itu, perbuatan yang disandarkan kepada manusia harus dipahami secara majazy, seperti halnya perbuatan yang
disandarkan pada benda-benda. Misalnya ungkapan, “Pohon berbuah, air mengalir,
dan batu bergerak.”
Dengan demikian menurut Jabariyah,
perbuatan manusia bukanlah perbuatan manusia itu sendiri, melainkan ciptaan
Tuhan yang dilaksanakan melalui organ fisik manusia. Sehingga manusia tidak
memiliki otoritas untuk bertindak. Manusia tidak ubahnya seperti batu yang
bergerak, matahari terbit dan terbenam, bulu yang terbang yang semua itu
Tuhanlah yang melakukan. Konsekuensi logis dari pendapat ini, seseorang mukmin
tidak akan menjadi kafir karena perbuatan dosa yang dilakukannya, karena ia
melakukan sesuatu yang dikehendaki oleh Tuhan secara terpaksa.
Al-Syahrastani membagi Jabariyah ke
dalam dua kelompok, yaitu Jabariyah ekstrem (al-khalisah) dan Jabariyah moderat (al-Mutawassithah), Jabariyah eksterem tidak menetapkan perbuatan
kepada manusia sama sekali, tidak pula kekuasaan atau daya untuk menimbulkan
perbuatan. Sementara Jabariyah moderat mengakui andil manusia atas
perbuatannya.
Menurut paham ini manusia tidak hanya
bagaikan wayang yang digerakkan oleh dalang, tapi manusia telah mempunyai
bagian dalam perwujudan perbuatan-perbuatannya.[3]
B.
Sejarah
Qadariyah dan Jabariyah
Kata sejarah berasal dari bahasa arab
yaitu syajarah yang berarti pohon.
Sedangkan menurut istilah sejarah berarti menceritakan kejadian yang telah
terjadi pada masa lampau.
Mengenai sejarah Qadariyah dan Jabariyah
berikut adalah sejarah timbulnya aliran Qadariyah dan Jabariyah:
1. Sejarah
Qadariyah
Faham Qadariyah muncul pertama kali
sebelum pertengahan abad ke-8 M, dan yang membawanya ke lingkungan umat islam
adalah Ma’bad al-Juhani dan Ghilan Dimisyqi. Dijelaskan di dalam sebuah kitab
berjudul Syarh al-Uyun, bahwa faham Qadariyah
ini semula berasal dari seorang Kristen, penduduk Irak bernama Abu Yunus
Sansaweh. Mula-mula ia masuk Islam, kemudian murtad dan kembali ke agama Kristen.
Dari orang inilah Ma’bad dan Ghilan mengambil faham ini.[4]
Lahirnya paham Qadariyah dalam Islam
dipengaruhi oleh paham bebas yang berkembang di kalangan pemeluk agama Masehi
(Nestoria). Dalam hal ini, Max Hortan, berpendapat bahwa teologi Masehi di
dunia Timur pertama-tama menetapkan kebebasan manusia dan pertanggungjawabannya
yang penuh dalam segala tindakannya. Karena dalil-dalil mengeai pendapat ini
memuaskan golongan bebas islam (al-Qadiyah), mereka merasa perlu mengambilnya.
Menurut al-Zahabi dalam kitab, Mizan al-I’tidal, yang dikutip oleh
Ahmad Amin bahwa Ma’bad al-Juhani adalah seorang tabi’in yang dapat dipercaya
(baik), tetapi ia telah memberi contoh dengan hal yang tidak terpuji, yaitu
mengatakan tentang tidak adanya qadar
bagi Tuhan. Dialah penyebar paham Qadariyah di Irak. Suatu kali, dia memasuki
lapangan politik untuk menentang kekuasaan Bani Umayyah dengan cara memihak
kepada Abdurrahman bin Asy’al, Gubernur Sajistan. Hal ini mengakibatkan
peristiwa yang tragis baginya, ketika dia bertempur dengan al-Hajjaj dia
terbunuh. Hal ini terjadi pada tahun 80 H. Sebagian orang mengatakan kematiannya
disebabkan oleh masalah politik, tetapi banyak juga orang yang mengatakan bahwa
kematiannya disebabkan oleh kezindikannya (paham Qadariyah).
Adapun Ghailan al-Dimasyqi (Abu Marwan
Ghailan bin Muslim) adalah penyebar paham al-Qadariyah di Damaskus. Dia seorang
orator, tidak heran jika banyak orang yang tertarik untuk mengikuti pahamnya.
Dalam menyebarkan pahamnya, dia mendapatkan tantangan dari Khalifah al-Adil Umar
bin Abdul Aziz. Setelah khalifah mangkat, dia meneruskan penyebaran pahamnya
hingga pada akhirnya dia dihukum mati oleh Khalifah Hisyam bin Abdul Malik bin
Marwan. Sebelum dilaksanakan hukum mati, sempat diadakan perdebatan antara
Ghailan dengan al-Auza’i yang dihadiri dan disaksikan oleh Khalifah Hisyam.
Motif timbulnya paham al-Qadariyah ini,
menurut hemat penulis disebabkan oleh dua faktor. Pertama, faktor ekstern yaitu agama Nashrani, jauh sebelumnya
mereka telah memperbincangkan tentang qadar
Tuhan dalam kalangan mereka. Kedua,
faktor intern yaitu reaksi terhadap paham Jabariyah dan merupakan upaya protes
terhadap tindakan-tindakan penguasa Bani Umayah yang bertindak atas nama Tuhan
dan berdalih kepada takdir Tuhan. Paham Qadariyah yang disebarluaskan oleh dua
sekawan ini banyak mendapat tantangan. Penguasa yang berwenang ketika itu, juga
oleh generasi terakhir dari para sahabat, seperti Abdullah bin Umar, Jabir bin
Abdullah, Abu Hurairah, Ibnu Abbas, Anas bin Malik, dan lain-ain. Bahkan mereka
menghimbau kepada generasi penerusnya agar tidak mengikuti paham Qadariyah,
tidak usah menyembahyangkan jenazah-jenazahnya dan tidak perlu membesuknya jika
mereka sakit. Hal demikian dapat
dimaklumi sebab menurut pendapat mereka, berdasarkan hadis/atsar yang diterimanya, kaum Qadariyah merupakan majusi umat Islam,
dalam arti golongan yang tersesat.[5]
Apakah dengan kematian tokoh-tokohnya
dan besarnya tantangan terhadapnya, kemudian paham Qadariyah ini mati atau
terhenti?. Memang benar secara organisasi/aliran mereka tidak berwujud lagi,
tetapi eksistensi ajarannya masih tetap berkembang, yaitu dianut oleh kaum
al-Mu’tazilah.
2. Sejarah
Jabariyah
Dalam ajaran praksis, bibit-bibit faham
Jabariyah ini sebenarnya sudah ada dalam praktek kehidupan masyarakat Arab
sebelum Islam. Pada saat itu, menurut Harun Nasution, bangsa Arab hidup
sederhana dan masih jauh dari ilmu pengetahuan. Mereka terpaksa menyesuaikan
hidup dengan nuansa padang pasir yang tandus dan gersang. Dalam kondisi demikian,
mereka tidak melihat adanya jalan untuk merubah keadaan. Mereka merasa dirinya
lemah, tidak berkuasa dan akhirnya banyak bergantung kepada kehendak alam. Hal
ini telah membawa mereka kepada sikap hidup yang fatalitas.
Dalam prespektif sejarah teologi,
Jabariyah merupakan kelompok sempalan Murji’ah. Dalam kaitan ini, Harun
Nasution telah melakukan pembagian Murji’ah atas murji’ah moderat dan Murji’ah
ekstrimis.
Pola pikir Jabariyah kelihatannya sudah
dikenal bangsa Arab sebelum Islam. Keadaan mereka yang bersahaja dengan
lingkungan alam yang gersang dan tandus, menyebabkan mereka tidak dapat
melakukan perubahan-perubahan sesuai dengan kemauan mereka. Akibatnya, mereka
lebih beruntung pada kehendak alam. Keadaan ini membawa mereka pada sikap
pasrah dan fatalistik.
Pada masa Nabi, benih-benih paham Jabariyah
itu sudah ada. Pedebatan di antara para sahabat di seputar masalah qadar Tuhan merupakan salah satu
indikatornya. Nabi menyuruh umat Islam beriman kepada takdir, tetapi beliau
melarang mereka membicarakannya secara mendalam. Pada masa sahabat (Khulafa al-Rasyidin) kelihatanya sudah ada orang yang berfikir Jabariyah.
Diceritakan bahwa Umar bin al-Khaththab pernah menangakap seorang pencuri.
Ketika diintrogasi, pencuri itu berkata, “Tuhan telah menentukan aku mencuri.”
Umar menghukum pencuri itu dan mencambuknya berkali-kali. Ketika keputusan itu
ditanyakan kepada Umar, ia menjawab: “Hukum potong tangan untuk kesalahannya
mencuri, sedang cambuk (jild) untuk
kesalahannya menyadarkan perbuatan dosa kepada Tuhan”.
Sebagian sahabat memandang imam kepada
takdir yang dapat meniadakan rasa takut dan waspada. Ketika Umar menolak masuk di
suatu kota yang di dalamnya terdapat wabah penyakit, mereka berkata: “Aku lari
dari takdir Tuhan ke takdir Tuhan yang lain.” Perkataan Umar ini nenunjukkan
bahwa takdir Tuhan melingkupi manusia dalam segala keadaan. Akan tetapi,
manusia tidak boleh mengabaikan sebab-sebab terjadinya sesuatu yang memiliki
sebab berada di bawah kekuasaan manusia (maqdurah).
Pada masa pemerintahan Bani Umayah,
pandangan tentang jabar semakin
mencuat kepermukaan. Abdullah bin Abbas dengan suratnya, memberi reaksi keras
kepada penduduk Syiria yang diduga berpaham Jabariyah. Hal yang sama dilakukan
pula oleh Hasan al-Bashri kepada penduduk Bashrah. Kenyataan ini menunjukkan
bahwa pada waktu itu sudah mulai banyak orang yang berpaham Jabariyah.
Dari bukti-bukti di atas dapat dikatakan bahwa cikal-cikal
paham Jabariyah sudah muncul sejak awal periode Islam. Namun, Jabariyah sebagai
suatu pola pikir (mazhab) yang dianut, dipelajari, dan dikembangkan terjadi
pada akhir pemeritahan Bani Umayah.
Paham ini ditimbulkan untuk pertama
kalinya oleh, Ja’ad bin Dirham. Akan tetapi, yang menyebarkannya adalah Jahm
bin Shafwan. Ja’ad sendiri menerima paham ini dari dari orang Yahudi di Syiria.
Pendapat lain menyatakan bahwa Ja’ad menerimanya dari Aban bin Syam’al, dan
yang terakhir ini menerimanaya dari Thalut bin Asham al-Yahudi. Dengan
demikian, paham al-Jabariyah berasal dari pemikiran asing, Yahudi maupun
Persia.
C.
Tokoh
dalam Aliran Qadariyah dan Jabariyah
Berikut adalah beberapa tokoh yang
tersohor sebagai tokoh-tokoh Qadariyah dan Jabariyah:
1. Tokoh
aliran Qadariyah
Berikut adalah beberapa tokoh yang
berperan dalam berkembangnya aliran Qadariyah yaitu:
a. Ghilan
al-Dimasyqi
Ghilan al-Dimasyqi berpendapat bahwa
manusia sendirilah yang berkuasa atas perbuatan-perbuatannya. Manusia melakukan
perbuatan-perbuatan baik atas kehendak dan kekuassan sendiri dan manusia
sendiri pulalah yang melakukan atau menjauhi perbuatan-perbuatan jahat atas
kemauan dan dayanya sendiri.
b. Ma’bad
al-Juhani
Ma’bad menyebarkan pahamnya di Irak
dalam waktu yang relatif singkat, tetapi dengan hasil yang gemilang. Banyak
yang tertarik dan menganut pahamnya.[6]
c. Al-Nazam
Ia salah seorang pemuka Qadariyah yang
mengatakan, manusia hidup itu mempunyai istitha’ah.
Selagi manusia hidup, dia mempunyai istitha’ah
(daya) maka dia berkuasa atas segala perbuatannya.
d. Al-Jubba’i
Al-Jubba’i mengatakan bahwa manusialah
yang menetapkan perbuatan-perbuatannya, manusia berbuat baik dan buruk, patuh
dan tidak patuh kepada Tuhan atas kehendak dan kemauannya sendiri. Daya untuk
mewujudkan kehendak itu telah terdapat dalam diri manusia, sebelum adanya
perbuatan.
e. Abdul
Jabbar
Ia berargumen bahwa perbuatan manusia
akan terjadi sesuai dengan kehendaknya. Jika seseorang ingin berbuat sesuatu,
perbuatan tersebut terjadi. Sebaliknya,
jika dia tidak ingin berbuat sesuatu, tidaklah terjadi perbuatan itu. Jika
sekiranya perbuatan tersebut perbuatan Tuhan maka perbuatan tersebut tidak akan
terjadi, sungguhpun dia menginginkannya, dan sebaliknya perbuatan tersebut akan
terjadi, sungguhpun dia sangat tidak menginginkannya.
2. Tokoh
aliran Jabariyah
Berikut adalah beberapa tokoh yang
berperan dalam aliran Jabariyah:
a. Ja’ad
bin Dirham
Ja’ad adalah orang pertama yang
mengenalkan paham Jabariyah di kalangan umat Islam. Ia seorang bekas budak (mawla) Bani Hakam, ia tinggal di
Damsyik, sampai muncul pendapatnya tentang Al-Quran sebagai makhluk. Karena
pendapatnya ini, ia dibenci oleh Bani Umayyah. Sejak itu, ia pergi ke Kufah.
Ja’ad bin Dirham ini dihukum mati oleh
penguasa pada tahun 124 H. Sebab fatwa-fatwanya yang ilhad dan zindik.[7]
b. Jahm
bin Shafwan
Jahm termasuk muslim non-Arab (mawali). Ia berasal dari Khurasan.
Mula-mula ia tinggal di Tirmidz, lalu di Balkh. Namanya terkadang dinisbatkan
ke Samarkand, terkadang pula ke Tirmidz. Ia dikenal ahli pidato dan pandai
berdialaog. Jahm juga menjabat sebagai sekretaris Haris bin Syuraih di
Khurasan, ia turut serta dalam gerakan melawan Bani Umayah.
Baik juga diketahui bahwa Jahm bin
Shafwan, Imam kaum Jabariyah ini adalah murid Ja’ad bin Dirham, yaitu pelopor
fatwa yang mengatakan bahwa Qur’an itu makhluk dan bahwa Tuhan tidak mempunyai
sifat.[8]
c. Husain
al-Najjar
Husain al-Najjar merupakan salah seorang
tokoh Jabaiyah moderat. Pengikut-pengikutnya dikenal dengan sebutan
“al-Najjariyah”. Menurut Husain, Tuhan berkehendak dan mengetahui karena
diri-Nya sendiri. Ia menghendaki kebaikan dan keburukan, manfaat dan mudharat.
Yang dimaksud berkehendak disini ialah bahwa Tuhan tidak terpaksa atau dipaksa.
d. Dirar
bin ‘Amr
Dirar juga salah seorang pemuka
Jabariyah moderat. Sebagaimana Husain, ia berpendapat bahwa manusia punya andil
dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Dalam pandangan Dirar, satu perbuatan
dapat timbul dari dua pelaku, yaitu Tuhan dan manusia. Tuhan menciptakan
perbuatan, dan manusia memperolehnya. Tuhan adalah pencipta hakiki dari
perbuatan manusia. Dalam pada itu, manusia juga pelaku hakiki dari
perbuatannya. Daya manusia menurut Dirar diberikan Tuhan sebelum danbersamaan
dengan perbuatan.
D.
Ayat
Suci Al-Qur’an Berkenaan dengan Qadariyah dan Jabariyah
Berikut adalah beberapa ayat suci
Al-Qura’an yang digunakan oleh kelompok Qadariyah dan Jabariyah untuk
memperkuat pendapatnya:
1. Ayat
suci yang berkenaan dengan Qadariyah
Diatara ayat suci Al-Qur’an yang
digunakan untuk memperkuat pendapat tentang Qadariyah adalah sebagai berikut:
a. Qur’an
Surah al-Muddaststsir (74) ayat 38
Yang artinya: “Tiap-tiap jiwa terikat dengan apa yang telah diperbuatnya.”
b. Qur’an
Surah al-Kahfi (18) ayat 29
Yang artinya: “Maka siapa yang hendak beriman berimanlah, dan siapa yang hendak
kafir kafirlah.”
c. Qur’an
Surah al-Insan (76) ayat 3
Yang artinya: “Sesungguhnya kami telah menunjukkan kepadanya jalan, adakalanya dia
bersyukur dan adakalnya mengingkari.”
d. Qur’an
Surah al Muzzammil (73) ayat 19
Yang artinya: “Sesungguhnya ini adalah peringatan, siapa yang ingin, tentu dia
mengambil jalan kepada Tuhannya.”
e. Qur’an
Surah Fushshilat (41) ayat 46
Yang artinya: “Barangsiapa berbuat baik maka itu adalah buat dirinya, dan
barangsiapa berbuat jahat maka itu merugikan dirinya. Dan tiadalah Tuhanmu
aniaya terhadap hamba-hamba-Nya.”
f. Qur’an
Surah an-Najm (53) ayat 39-41
Yang artinya: “Dan bahwasanya tiadalah bagi manusia, kecuali apa yang telah
dikerjakannya. Dan bahwasannya usahanya itu akan diperlihatkan. Kemudian ia
akan diberi balasan yang paling sempurna.”
g. Qur’an
Surah an-Nisa (4) ayat 111
Yang artinya: “Dan barangsiapa melakukan suatu dosa, maka sesungguhnya ia
melakukannya untuk merugikan dirinya sendiri.”
2. Ayat
suci yang berkenaan dengan Jabariyah
Diatara ayat suci Al-Quran yang
digunakan untuk memperkuat pendapat tentang Jabariyah adalah sebagai berikut:
a. Quran
Surah al-An’am (6) ayat 111
Yang artinya: “Mereka sebenarnya tidak percaya sekiranya Allah tidak menghendaki.”
b. Quran
Surah al-Anfal (8) ayat 17
Yang artinya: “Bukanlah engkau yang melontar ketika engkau melontar (musuh), tetapi
Allah-lah yang melontar (mereka).”
c. Quran
Surah al-Insan (76) ayat 30
Yang artinya: “Kamu tidak menghendaki, kecuali Allah menghendaki.”
d. Quran
Surah Hud (11) ayat 107
Yang artinya: “Mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika
Tuhanmu menghedaki.”
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Qadariyah adalah
suatu kaum yang tidak mengakui adanya qadar
bagi Tuhan. Mereka menyatakan bahwa tiap-tiap hamba Tuhan adalah pencipta bagi
segala perbuatannya; dia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas
kehendaknya sendiri.
Kebalikan dari
golongan Qadariyah adalah Jabariyah yang menyatakan bahwa manusia tidak
mempunyai kekuatan apa-apa untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu. Manusia
dalam keadaam terpaksa (majbur) dalam
segala perbuatannya, tidak ada kesempatan untuk memilih dan berikhtiar.
Tokoh-tokoh
aliran Qadariyah antara lain ialah Ghilan al-Dimasyqi, Ma’bad al-Juhani,
Al-Nazam, Al-Jubba’i, dan Abdul Jabbar. Sedang tokoh-tokoh dari aliran
Jabariyah antara lain ialah Ja’ad bin Dirham, Jahm bin Shafwan, Husain
al-Najjar, dan Dirar bin ‘Amr.
DAFTAR
PUSTAKA
Muhammad Amin Nurdin, Afifi Fauzi
Abbas, Sejarah Pemikiran Islam,
Jakarta: Amzah, 2012.
Muniron, Ilmu Kalam Sejarah Metode
Ajaran dan Analisa Perbandingan, Jember: STAIN Jember Press, 2015.
Yusran Asmuni, Dirasah Islamiyah II, Jakarta: PT Raja
Grafindo, 1996.
Siradjuddin
Abbas, I’tiqad Ahlusunnah wal-Jama’ah,
Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 1995.
[1] Muhammad Amin Nurdin,
Afifi Fauzi Abbas, Sejarah Pemikiran
Islam, (Jakarta: Amzah), hlm. 32.
[2] Muniron, Ilmu Kalam Sejarah Metode Ajaran dan Aanalisa
Perbandingan, (Jember: STAIN Jember Press), hlm. 66.
[4] Muniron, Ilmu Kalam Sejarah Metode Ajaran dan Aanalisa
Perbandingan, (Jember: STAIN Jember Press), hlm. 71.
[5] Muhammad Amin Nurdin,
Afifi Fauzi Abbas, Sejarah Pemikiran
Islam, (Jakarta: Amzah), hlm 33-35.
[6] Yusran Asmuni, Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: PT Raja
Grafindo), hlm. 74.
[8] Ibid,. hlm. 244.
Komentar
Posting Komentar