HAKIM, HUKUM, MAHKUM FIIH,
MAHKUM ‘ALAIH
Makalah
Ini Disusun
Guna Memenuhi
Tugas Kelompok
Mata
Kuliah : Ushul Fiqih
Dosen
Pengampu : Yusuf
Effendi, M.Pd.
Disusun Oleh:
1. Kun
Amiina (15120026)
2. M.
Lutfil Makin (15120036)
Semester
5B
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
JURUSAN
TARBIYAH
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NAHDLATUL ULAMA
PURWOREJO
2017
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Di
dalam agama Islam, dalam menjalankan kehidupan sehari-hari ini kita tidak
pernah terlepas dari hukum-hukum syar’i. Hukum yang mengatur tentang
perbuatan-perbuatan seorang mukallaf. Dengan ketentuan-ketentuannya dari
Allah Swt., sehingga pembuat hukum ini adalah Allah Swt. Hukum tersebut
terdapat di dalam Al-Qur’an, sebagai sumber hukum yang utama.
Hukum-hukum
tersebut ditetapkan oleh Allah Swt. agar terciptanya kehidupan yang baik dan
mencapai kebahagiaan dunia akhirat. Dalam memecahkan atau mengetahui hukum-hukum
Islam agar mampu menghasilkan solusi yang tepat maka ada ijtihad, yang
merupakan cara/metodologi ushul fiqih, yang cakupannya luas dan hal penting
untuk diketahui adalah hal yang berkaitan dengan hukum. Yaitu hakim, mahkum
fiih dan mahkum ‘alaih. Sebab, dalam menyelesaikan persoalan hukum,
kita mengetahui terlebih dahulu tentang hukum itu, pembuat hukum, siapa objek
dan subjeknya. Oleh karena itu, dalam makalah ini akan kami sampaikan mengenai
penjelasan hukum, hakim, mahkum fih dan mahkum ‘alaih.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana
Penjelasan Mengenai Hakim?
2. Bagaimana
Penjelasan Mengenai Hukum?
3. Bagaimana
Penjelasan Mengenai Mahkum Fiih?
4. Bagaimana
Penjelasan Mengenai Mahkum ‘Alaih?
C.
TUJUAN
PENULISAN
1. Mengetahui
penjelasan mengenai hakim.
2. Mengetahui
penjelasan mengenai hukum.
3. Mengetahui
penjelasan mengenai mahkum fiih.
4. Mengetahui
penjelasan mengenai mahkum ‘alaih.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Hakim (Pembuat Hukum/Allah)
1.
Pengertian
Hakim
Ditinjau dari segi bahasa, hakim mempunyai dua arti, pertama,
pembuat hukum, yang menetapkan hukum, memunculkan sumber hukum. Kedua, yang
menemukan, menjelaskan, memperkenalkan, dan menyingkap. Hakim termasuk
persoalan yang cukup penting dalam Ushul Fiqih, sebab berkaitan dengan
pembuat hukum dalam syari’at Islam, atau pembuat hukum syara’, yang
mendatangkan pahala bagi pelakunya dan dosa bagi pelanggarnya. Dalam ilmu Ushul
Fiqih, hakim disebut juga dengan syar’i.[1]
Diantara para ahli ushul, terjadi perbedaan tentang status hakim.
Hal ini disebabkan karena dua keadaan, yaitu:
a.
Hakim
sebelum Nabi Muhammad Saw., terutus sebagai rasul
Yang menjadi perosoalan dikalangan ushul dalam kaitannya dengan
masalah ini adalah tentang siapa yang menemukan dan memperkenalkan serta
menjelaskan hukum. Maka ditanggapi oleh para ahli, yaitu:
1)
Ahlussunnah
wa al-Jama’ah
Berpendapat bahwa pada masa sebelum Nabi Muhammad Saw., terutus
menjadi rasul itu, tidak ada hakim dan tidak ada pula hukum syara’, sementara
akal tidak mempunyai kemampuan untuk menemukannya, sebab akal hanya mampu
menetapkan baik buruk melalui perantara Al-Qur’an dan rasul. Oleh karena itu,
Allah-lah yang menjadi hakim, sedang yang menjelaskan hukum-hukum yang berasal dari
hakim adalah syara’, namun syara’ pada saat itu belum ada. Karena itu Allah mengutus rasul-Nya untuk menyampaikan
ketetapan hukum-hukum-Nya.[2]
2)
Kelompok
Mu’taziliyyin
Berpendapat
bahwa yang menjadi hakim saat itu adalah Allah Swt., hanya saja akal sudah
memiliki kemampuan untuk memutuskan hukum-hukum Allah Swt., bahkan akal mampu
menjelaskannya.
Dari persoalan
rumit ini, para ahli ushul menyebutnya dengan istilah “At-Tahsin wa
At-Taqbih” yakni
pernyataan bahwa sesuatu itu baik atau buruk.
1)
At-Tahsin,
yaitu semua perilaku perbuatan yang dianggap sesuai dengan watak
kemanusiaan seperti rasa manis, menolong orang yang sedang celaka dan
sebagainya.
2)
At-Taqbih,
yaitu semua perilaku yang tidak sesuai dengan watak kemanusiaan,
seperti menyakiti orang lain, mencuri dan sebagainya.
b.
Hakim
setelah Nabi Muhammad Saw., menjadi rasul
Para
ahli ushul bersepakat untuk menyatakan bahwa hakim adalah syari’ah yang
diturunkan dari Allah melalui Rasul-Nya. Oelh karena itu, segala sesuatu yang
hukumnya telah dihalalkan Allah Swt., adalah halal dan segala sesuatu yang
hukumnya telah diharamkan oleh Allah Swt., adalah haram. Dengan demikian at-tahsin
adalah segala sesuatu yang telah
dihalalkan oleh Allah Swt., dan didalamnya terdapat kemaslahatan bagi
kelangsungan hidup manusia. Sedang at-taqbih adalah segala sesuatu yang
telah diharamkan oleh Allah dan didalamnya terdapat kemadharatan atau merusak
bagi kelangsungan hidup manusia.[3]
B.
Hukum
Hukum dalam bahasa artinya penetapan atau putusan.
Sedangkan menurut mayoritas ulama ushul mendefinisikan hukum sebagai kalam
Allah (khithab Allah) Swt., yang menyangkut perbuatan orang dewasa dan
berakal sehat, baik bersifat imperatif, fakultatif atau menempatkan sesuatu
sebagai sebab, syarat dan penghalang. Menurut ulama ushul, hukum terbagi
menjadi 2 yaitu:
1.
Hukum
Taklifi
Hukum taklifi adalah firman Allah Swt., yang menuntut
manusia untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu atau memilih antara berbuat
dan meninggalkan. Hukum taklifi juga terbagi dalam 2 bentuk:
a.
Menurut
jumhur Ulama Ushul Fiqih/Mutakallimin
1)
Ijab
Yaitu tuntutan syar’i yang bersifat untuk melaksanakan sesuatu dan
tidak boleh ditinggalkan. Orang-orang meninggalkannya dikenai sanksi.
2)
Nadb
Yaitu tuntutan untuk melaksanakan suatu perbuatan yang tidak
bersifat memaksa, melainkan sebagai anjuran, sehingga seseorang tidak dilarang
untuk meninggalkannya. Orang yang meninggalkan tidak dikenai hukum.
3)
Ibahah
Yaitu khittab
Allah Swt. yang bersifat fakultatif, mengandung pilihan antara berbuat atau
tidak berbuat sama. Akibat dari khittab Allah ini disebut juga dengan ibahah,
perbuatan yang boleh dipilih itu disebut mubah.
4)
Karahah
Yaitu tuntutan
untuk meninggalkan suatu perbuatan, tetapi tuntutan itu diungkapkan melalui
redaksi yang tidak bersifat memaksa. Dan seseorang ynag mengerjakan perbuatan
yang dituntut untuk ditinggalkan itu dikenai hukuman.
5)
Tahrim
Yaitu tuntutan
untuk tidak mengerjakan suatu perbuatan dengan tuntutan yang memaksa. Akibat
dari tuntutan ini disebut hurmat dan perbuatan yang dituntut itu disebut
dengan haram.
b.
Menurut
Ulama Hanafiyah
1)
Iftiradh
Yaitu tuntutan
Allah kepada mukallaf yang bersifat memaksa dengan dalil yang qath’i.
Misalnya tuntutan untuk laksanakan shalat dan zakat.
2)
Ijab
Yaitu tuntutan
Allah kepada mukallaf yang bersifat memaksa untuk melaksanakan suatu
perbuatan, tetapi melalui dalil yang bersifat dzanni (relatif benar). Mislanya
membaca al-fatihah dalam shalat, ibadah qurban. Perbuatan itu menurut Hanafiyah
bersifat ijab dan wajib dilaksanakan.
3)
Nadb
Sama dengan yang dimaksud Nadb oleh
Ulama ushul fiqih.
4)
Ibahah
Sama dengan yang dimaksud oleh Ulama ushul fiqih.
5)
Karahah Tanziliyyah
Yaitu tuntutan
Allah Swt kepada mukallaf untuk meninggalkan suatu pekerjaan, tetapi
tuntutannya tidak bersifat memaksa. Misalnya larangan berpuasa pada hari
Jum’at.
6)
Karahah Tahrimiyah
Yaitu tuntutan
kepada mukallaf Allah untuk meninggalkan suatu perbuatan dengan cara
memaksa, tetapi didasarkan kepada dalil yang dzanni. Apabila pekerjaan yang
dituntut untuk ditinggalkan, maka ia dikenakan hukuman.
7)
Tahrim
Yaitu tuntuntan kepada mukallaf untuk
meninggalkan suatu pekerjaan secara memaksa dan didasarkan dalil yang qath’i.
Misalnya larangan membunuh orang dan berbuat zina.
2.
Hukum
Wad’i
Hukum wad’i
adalah firman Allah Swt. yang menuntut untuk menjadikan sesuatu sebagai sebab,
syarat atau penghalang dari sesuatu yang lain.
Macam-macam hukum wad’i adalah:
a.
Sebab
Menurut bahasa
adalah sesuatu yang dapat menyampaikan kepada sesuatu yang lain. Berarti jalan
yang dapat menyampaikan kepada suatu tujuan. Menurut istilah adalah suatu sifat
yang dijadikan syar’i sebagai tanda adanya hukum. Contohnya firman Allah QS.
Al-Isra ayat 78 : اقم
الصلاة لدلوك الشمس..........
Artinya : “Dirikanlah
shalat sesudah matahari tergelincir...” (QS. Al-Isra’:78)
Pada ayat
tersebut, tergelincirnya shalat menjadi sebab wajibnya shalat.
b.
Syarat
Yaitu sesuatu
yang berada di luar hukum syara’, tetapi keberadaan hukum syara’ bergantung
padanya. Apabila syarat tidak ada, hukum tidak ada, tetapi syarat tidak
mengharuskan adanya hukum syara’. Misalnya wudhu, yang merupakan syarat sah
shalat. Shalat tidak dapat dilaksanakan tanpa wudhu, akan tetapi apabila
seseorang berwudhu, tidak ketika melaksanakan shalat, bisa karena akan membaca
Al-Qur’an.
c.
Mani’
Yaitu sifat
yang keberadaannya menyebabkan tidak ada hukuman atau tidak ada sebab. Misalnya
hubungan kekerabatan menyebabkan timbulnya hubungan kewarisan. Apabila seorang
ayah meninggal, istri dan anak mendapatkan pembagian warisan dari harta suami
atau ayah yang wafat, sesuai pembagian masing-masing. Akan tetapi, hak mewarisi
ini bisa terhalang apabila anak atau istri yang membunuh suami atau ayahnya.
Perbuatanmembunuh itu menjadi mani (penghalang) untuk mendapatkan pembagian
warisan dari orang yang dibunuh.
d.
Shihhah
Yaitu suatu hukum yang sesuai dengan tuntutan syara’, yaitu
terpenuhinya sebab, syarat, dan tidak ada mani’. Misalnya
mengerjakan shalat Dzuhur setelah tergelincirnya matahari (sebab) dan
telah berwudhu (syarat), dan tidak ada halangan bagi orang yang
mengerjakan (tidak haid atau nifas).
e.
Bathil
Yaitu terlepasnya hukum syara’ dari ketentuan yang ditetapkan dan
tidak ada akibat hukum yang ditimbulkan. Misalnya, memperjual-belikan minuman
keras. Akad ini dipandang batal, karena minuman keras tidak bernilai harta
dalam pandangan syara’.
f.
‘Azimah
atau Rukhsah
‘Azimah adalah
hukum-hukum yang disyariatkan Allah kepada seluruh hamba-Nya sejak semula.
Artinya belum ada hukum sebelum hukum itu disyari’atkan Allah, sehingga sejak
disyari’atkan seluruh mukallaf wajib mengikutinya. Misalnya tentang
jumlah rakaat shalat. Hukum shalat dzuhur adalah empat rakaat disebut ‘azimah.
Dan apabila ada dalil lain yang menunjukkan bahwa orang tertentu boleh
melaksanakan shalat dua rakaat, seperti orang musafir, maka hukum ini disebut rukhsah.
C.
Mahkum Fiih (Objek Hukum)
Untuk menyebut istilah peristiwa
hukum atau objek hukum, sebagian ulama ushul fiqih menggunakan istilah mahkum
fiih, karena di dalam perbuatan atau peristiwa itu adalah hukum, baik hukum
wajib maupun hukum haram. Sebagian ulama lain menggunakan istilah mahkum
bih, karena perbuatan mukallaf itu
disifati dengan hukum, baik bersifat yang diperintahkan maupun yang dilarang.
Menurut ulama ushul fiqih, yang
dimaksud dengan mahkum fiih adalah objek hukum, yaitu perbuatan mukallaf
yang terkait dengan perintah syar’i (Allah dan rasul-Nya), baik yang bersifat
tuntutan mengerjakan, tuntutan meninggalkan, memilih suatu pekerjaan, dan yang
bersifat syarat, sebab, halangan, azimah, rukhsah, sah serta batal. Para ulama
pun sepakat, bahwa seluruh perintah syar’i itu ada objeknya, yakni perbuatan
mukallaf. Dan perbuatan mukallaf tersebut ditetapkanlah suatu hukum. Seperti
واقيموا
الصلاة......................( البقرة:۴۳)
Artinya: “Dan dirikanlah shalat...........”(QS.
Al-Baqarah:43)
Ayat ini berkaitan dengan perbuatan orang mukallaf, yakni tuntutan untuk
mengerjakan shalat, atau berkaitan dengan kewajiban mendirikan shalat. Jadi
dapat diketahui bahwa objek hukum (mahkum fiih/mahkum bih) itu adalah
perbuatan mukallaf. Ulama ushul
fiqih menetapkan kaidah “tidak ada taklif (pembebanan hukum) melainkan
terhadap perbuatan”. Dengan alasan bahwa jika di dalam hukum syara’ tersebut
mencakup wajib atau sunnah, maka perintahnya pasti jelas, artinya jika perintah
itu wajib maka hubungannya dengan keharusan. Sedang sunnah tidak demikian, tapi
keduanya sama-sama terlaksana dengan adanya perbuatan.[4]
Adapun utuk memenuhi kriteria sahnya suatu taklif
(pembebanan hukum) pada perbuatan mukallaf, para ahli ushul memberikan
persyaratannya, sebagai berikut:
1.
Mukallaf mengetahui perbuatan yang akan dilakukan, sehingga tujuannya dapat
ditangkap dengan jelas dan dapat ia laksanakan. Misalnya di dalam Al-Qur’an,
diperintahkan sholat, maka seseorang dianggap tidak sah sebelum diketahui
syarat-syarat, rukun, waktu dan sebagainya.
2.
Mukallaf harus mengetahui sumber taklif (dari Allah Swt.), sehingga
melaksanakannya berdasarkan ketaatan bertujuan untuk Allah semata.
3.
Perbuatan
harus mungkin dilaksanakan atau ditinggalkan, sehingga benar-benar dilaksanakan
secara baik dan benar.[5]
Dilihat dari
segi keberadaanya secara material dan syara’, mahkum fiih terdiri atas:
1.
Perbuatan
yang secara material ada, tetapi tidak termasuk perbuatan yang terkait dengan
syara’, seperti makan dan minum.
2.
Perbuatan
yang secara material ada dan menjadi sebab adanya hukum syara’, seperti
perzinaan, pencurian dan pembunuhan. Perbuatan ini menjadi sebab adanya hukum
syara’, yaitu hudud dan qishas.
3.
Perbuatan
secara material ada dan baru bernilai syara’ apabila memenuhi rukun dan syarat
yang ditentukan, seperti shalat dan zakat.
4.
Perbuatan
yang secara material ada dan diakui syara’ serta mengakibatkan adanya hukum
syara’ yang lain, seperti nikah, jual beli dan sewa menyewa. Seperti pernikahan
yang mengakibatkan munculnya hukum syara’ yang lain yaitu kewajiban nafkah dan
mahar.
Dilihat dari
segi hak yang terdapat dalam perbuatan itu, maka mahkum fiih dibagi
dalam empat bentuk, yaitu:
1.
Semata-mata
hak Allah, yaitu segala sesuatu yang menyangkut kepentingan dan kemaslahatan
umum tanpa terkecuali. Diantaranya ibadah mahdah, ibadah yang didalamnya
terkandung makna pemberian dan santunan (shodaqoh), bantuan/santunan yang
bernilai ibadah (zakat), biaya/santunan yang mengandung makna kharajj (pajak
bumi), hukuman secara sempurna dalam berbagai tindak pidana (dera/rajam), hukuman
yang tidak sempurna (tidak ada hak waris/wasiat bagi pembunuh), hukuman yang
mengandung makna ibadah (kafarat) dan hak-hak yang harus dibayarkan (harta
rampasan perang).
2.
Hak
hamba yang terkait dengan kepentingan pribadi seseorang. Misalny aganti rugi
barang yang rusak.
3.
Kompromi
antara hak Allah dengan hak hamba, tetapi hak Allah lebih dominan. Misalnya qadzaf.
4.
Kompromi
antara hak Allah dengan hak hamba, namun hak hamba lebih dominan. Misalnya qishah.[6]
D.
Mahkum ‘Alaih (Subjek Hukum)
Mahkum ‘alaih adalah seseorang yang
perbuatannya dikenai titah Allah, yaitu mukallaf atau manusia yang
menjadi obyek tuntutan hukum syara’. Ulama ushul fiqih sepakat bahwa mahkum
‘alaih adalah seseorang yang
perbuatannya dikenai khittab Allah, yang disebut mukallaf. Dari
pengertian itu, maka mukallaf menurut bahasa dapat diartikan sebagai
orang yang dibebani hukum, sedang menurut istilah mukallaf adalah orang
yang sudah dianggap layak dan mampu bertindak hukum, baik yang berhubungan
dengan perintah maupun larangan.
Seseorang baru bisa dibebani hukum,
jika sudah memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1.
Harus
memiliki kemampuan untuk memahami dalil taklif, baik yang bersumber dari
hukum al-Qur’an dan Hadits maupun melalui orang lain.
وَلاَ تُحَمِّلْنَا مَا
لاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ
Artinya: “Ya
Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami
memikulnya.” (QS. Al-baqarah:286)
2.
Usianya sudah baligh dan tidak
menderita penyakit yang dapat menyebabkan daya tanggapnya hilang tau terganggu.
Oleh sebab itu, anak kecil dan orang gila tidak dapat dikategorikan ke dalam mukallaf.
Begitu juga dengan orang lupa, orang
tidur dan mabuk.
a.
Ahliyyah Wajib
Yaitu sifat
kecakapan seseorang untuk menerima hak-hak yang menjadi haknya, tetapi belum
mampu untuk dibebani seluruh kewajibannya. Misalnya ia berhak menerima hibbah, apabila
benda dirusak orang lain, ia mampu menerima ganti rugi.
b.
Ahliyyah Ada’
Yaitu sifat
kecakapan bertindak hukum bagi seseorang yang telah dianggap sempurna untuk
mempertanggungjawabkan seluruh perbuatannya,
baik positif maupun negatif. Dengan kata lain telah cakap menerima hak dan
kewajiban. Misalnya jika ia memenuhi kewajiban, berhak mendapat pahala dan ia
berdosa jika melanggar.[8]
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Hakim
mempunyai dua arti, pertama, pembuat hukum, yang menetapkan hukum, memunculkan
sumber hukum. Kedua, yang menemukan, menjelaskan, memperkenalkan, dan
menyingkap. Menurut Ahl Sunnah wa Al-Jama’ah bahwa
pada masa sebelum Nabi Muhammad Saw., terutus menjadi rasul itu, tidak ada
hakim dan tidak ada pulahukum syara’, sementara akal tidak mempunyai kemampuan
untuk menemukannya. Sedangkan Mu’tazilin berpendapat bahwa yang menjadi hakim
saat itu adalah Allah Swt., hanya saja akal sudah memiliki kemampuan untuk
memutuskan hukum-hukum Allah Swt. jadi, yang dimaksud hakim adalah Allah Swt.
Hukum sebagai kalam Allah (khithab Allah) Swt., yang menyangkut perbuatan orang
dewasa dan berakal sehat, baik bersifat imperatif, fakultatif atau menempatkan
sesuatu sebagai sebab, syarat dan penghalang. Hukum terbagi dua, yaitu hukum
taklifi, hukum yang menuntut manusia untuk melakukan atau meninggalkan
sesuatu atau memilih antara berbuat dan meninggalkan (ijab, nadb, ibahah,
karahah, tahrim dan iftiradh) dan hukum wad’i, hukum yang menuntut
untuk menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat atau penghalang dari sesuatu
yang lain (sebab, syarat, mani’, shahikhah, bathil, ‘azimah dan rukhshah).
Menurut ulama ushul fiqih, yang dimaksud dengan mahkum
fiih adalah objek hukum, yaitu perbuatan mukallaf yang terkait dengan
perintah syar’i (Allah dan rasul-Nya), baik yang bersifat tuntutan mengerjakan,
tuntutan meninggalkan, memilih suatu pekerjaan, dan yang bersifat syarat,
sebab, halangan, azimah, rukhsah, sah serta batal. Para ulama pun sepakat, bahwa seluruh perintah syar’i itu ada
objeknya, yakni perbuatan mukallaf. Dengan syarat seorang mukallaf mengetahui
perbuatan yang akan dilakukan, sumber-sumber taklif, dan dilaksanakan
dengan benar.
Mahkum ‘alaih adalah seseorang yang perbuatannya dikenai
titah Allah, yaitu mukallaf atau manusia yang menjadi obyek tuntutan
hukum syara’. Ulama ushul fiqih sepakat bahwa mahkum ‘alaih adalah seseorang yang perbuatannya dikenai
khittab Allah, yang disebut mukallaf. Seorang mukallaf memiliki kemampuan untuk memahami dalil taklif, usianya baligh, dan mampu menanggung beban taklif
(wajib idan ada’).
DAFTAR PUSTAKA
Syafe’i, Rahmat, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung: Pustaka Setia, 2010.
Zein, Muhammad Ma’shum, Ilmu Ushul Fiqih, Jombang: Darul Hikmah,
2008.
Alisia Casino - Jordan Sports
BalasHapusAlisia Casino offers a full casino experience. air jordan 18 retro red suede clearance The main focus is the air jordan 18 retro red from me online air jordan 18 retro yellow online free shipping casino in which you can air jordan 18 stockx online play slot machines for free, get air jordan 18 retro red suede no download required!