Langsung ke konten utama

Smt 5 Ushul fiqih Hakim hukum mahkum Fih Mahkum 'alaih

    HAKIM, HUKUM, MAHKUM FIIH,
MAHKUM ‘ALAIH
Makalah Ini Disusun Guna Memenuhi Tugas Kelompok
Mata Kuliah :  Ushul Fiqih
Dosen Pengampu :  Yusuf Effendi, M.Pd.



Disusun Oleh:

1.     Kun Amiina                        (15120026)
2.     M. Lutfil Makin                  (15120036)

Semester 5B
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NAHDLATUL ULAMA
PURWOREJO
2017
BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Di dalam agama Islam, dalam menjalankan kehidupan sehari-hari ini kita tidak pernah terlepas dari hukum-hukum syar’i. Hukum yang mengatur tentang perbuatan-perbuatan seorang mukallaf. Dengan ketentuan-ketentuannya dari Allah Swt., sehingga pembuat hukum ini adalah Allah Swt. Hukum tersebut terdapat di dalam Al-Qur’an, sebagai sumber hukum yang utama.
Hukum-hukum tersebut ditetapkan oleh Allah Swt. agar terciptanya kehidupan yang baik dan mencapai kebahagiaan dunia akhirat. Dalam memecahkan atau mengetahui hukum-hukum Islam agar mampu menghasilkan solusi yang tepat maka ada ijtihad, yang merupakan cara/metodologi ushul fiqih, yang cakupannya luas dan hal penting untuk diketahui adalah hal yang berkaitan dengan hukum. Yaitu hakim, mahkum fiih dan mahkum ‘alaih. Sebab, dalam menyelesaikan persoalan hukum, kita mengetahui terlebih dahulu tentang hukum itu, pembuat hukum, siapa objek dan subjeknya. Oleh karena itu, dalam makalah ini akan kami sampaikan mengenai penjelasan hukum, hakim, mahkum fih dan mahkum ‘alaih.
B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana Penjelasan Mengenai Hakim?
2.      Bagaimana Penjelasan Mengenai Hukum?
3.      Bagaimana Penjelasan Mengenai Mahkum Fiih?
4.      Bagaimana Penjelasan Mengenai Mahkum ‘Alaih?
C.    TUJUAN PENULISAN
1.      Mengetahui penjelasan mengenai hakim.
2.      Mengetahui penjelasan mengenai hukum.
3.      Mengetahui penjelasan mengenai mahkum fiih.
4.      Mengetahui penjelasan mengenai mahkum ‘alaih.
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Hakim (Pembuat Hukum/Allah)
1.      Pengertian Hakim
Ditinjau dari segi bahasa, hakim mempunyai dua arti, pertama, pembuat hukum, yang menetapkan hukum, memunculkan sumber hukum. Kedua, yang menemukan, menjelaskan, memperkenalkan, dan menyingkap. Hakim termasuk persoalan yang cukup penting dalam Ushul Fiqih, sebab berkaitan dengan pembuat hukum dalam syari’at Islam, atau pembuat hukum syara’, yang mendatangkan pahala bagi pelakunya dan dosa bagi pelanggarnya. Dalam ilmu Ushul Fiqih, hakim disebut juga dengan syar’i.[1]
Diantara para ahli ushul, terjadi perbedaan tentang status hakim. Hal ini disebabkan karena dua keadaan, yaitu:
a.       Hakim sebelum Nabi Muhammad Saw., terutus sebagai rasul
Yang menjadi perosoalan dikalangan ushul dalam kaitannya dengan masalah ini adalah tentang siapa yang menemukan dan memperkenalkan serta menjelaskan hukum. Maka ditanggapi oleh para ahli, yaitu:
1)      Ahlussunnah wa al-Jama’ah
Berpendapat bahwa pada masa sebelum Nabi Muhammad Saw., terutus menjadi rasul itu, tidak ada hakim dan tidak ada pula hukum syara’, sementara akal tidak mempunyai kemampuan untuk menemukannya, sebab akal hanya mampu menetapkan baik buruk melalui perantara Al-Qur’an dan rasul. Oleh karena itu, Allah-lah yang menjadi hakim, sedang yang menjelaskan hukum-hukum yang berasal dari hakim adalah syara’, namun syara’ pada saat itu belum ada.  Karena itu Allah mengutus rasul-Nya untuk menyampaikan ketetapan hukum-hukum-Nya.[2]
2)      Kelompok Mu’taziliyyin
Berpendapat bahwa yang menjadi hakim saat itu adalah Allah Swt., hanya saja akal sudah memiliki kemampuan untuk memutuskan hukum-hukum Allah Swt., bahkan akal mampu menjelaskannya.
Dari persoalan rumit ini, para ahli ushul menyebutnya dengan istilah “At-Tahsin wa At-Taqbih” yakni pernyataan bahwa sesuatu itu baik atau buruk.
1)      At-Tahsin, yaitu semua perilaku perbuatan yang dianggap sesuai dengan watak kemanusiaan seperti rasa manis, menolong orang yang sedang celaka dan sebagainya.
2)      At-Taqbih, yaitu semua perilaku yang tidak sesuai dengan watak kemanusiaan, seperti menyakiti orang lain, mencuri dan sebagainya.
b.      Hakim setelah Nabi Muhammad Saw., menjadi rasul
Para ahli ushul bersepakat untuk menyatakan bahwa hakim adalah syari’ah yang diturunkan dari Allah melalui Rasul-Nya. Oelh karena itu, segala sesuatu yang hukumnya telah dihalalkan Allah Swt., adalah halal dan segala sesuatu yang hukumnya telah diharamkan oleh Allah Swt., adalah haram. Dengan demikian at-tahsin  adalah segala sesuatu yang telah dihalalkan oleh Allah Swt., dan didalamnya terdapat kemaslahatan bagi kelangsungan hidup manusia. Sedang at-taqbih adalah segala sesuatu yang telah diharamkan oleh Allah dan didalamnya terdapat kemadharatan atau merusak bagi kelangsungan hidup manusia.[3]

B.     Hukum
Hukum dalam  bahasa artinya penetapan atau putusan. Sedangkan menurut mayoritas ulama ushul mendefinisikan hukum sebagai kalam Allah (khithab Allah) Swt., yang menyangkut perbuatan orang dewasa dan berakal sehat, baik bersifat imperatif, fakultatif atau menempatkan sesuatu sebagai sebab, syarat dan penghalang. Menurut ulama ushul, hukum terbagi menjadi 2 yaitu:
1.      Hukum Taklifi
Hukum taklifi adalah firman Allah Swt., yang menuntut manusia untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu atau memilih antara berbuat dan meninggalkan. Hukum taklifi juga terbagi dalam 2 bentuk:
a.       Menurut jumhur Ulama Ushul Fiqih/Mutakallimin
1)      Ijab
Yaitu tuntutan syar’i yang bersifat untuk melaksanakan sesuatu dan tidak boleh ditinggalkan. Orang-orang meninggalkannya dikenai sanksi.
2)      Nadb
Yaitu tuntutan untuk melaksanakan suatu perbuatan yang tidak bersifat memaksa, melainkan sebagai anjuran, sehingga seseorang tidak dilarang untuk meninggalkannya. Orang yang meninggalkan tidak dikenai hukum.
3)      Ibahah
Yaitu khittab Allah Swt. yang bersifat fakultatif, mengandung pilihan antara berbuat atau tidak berbuat sama. Akibat dari khittab Allah ini disebut juga dengan ibahah, perbuatan yang boleh dipilih itu disebut mubah.
4)      Karahah
Yaitu tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan, tetapi tuntutan itu diungkapkan melalui redaksi yang tidak bersifat memaksa. Dan seseorang ynag mengerjakan perbuatan yang dituntut untuk ditinggalkan itu dikenai hukuman.
5)      Tahrim
Yaitu tuntutan untuk tidak mengerjakan suatu perbuatan dengan tuntutan yang memaksa. Akibat dari tuntutan ini disebut hurmat dan perbuatan yang dituntut itu disebut dengan haram.
b.      Menurut Ulama Hanafiyah
1)      Iftiradh
Yaitu tuntutan Allah kepada mukallaf yang bersifat memaksa dengan dalil yang qath’i. Misalnya tuntutan untuk laksanakan shalat dan zakat.
2)      Ijab
Yaitu tuntutan Allah kepada mukallaf yang bersifat memaksa untuk melaksanakan suatu perbuatan, tetapi melalui dalil yang bersifat dzanni (relatif benar). Mislanya membaca al-fatihah dalam shalat, ibadah qurban. Perbuatan itu menurut Hanafiyah bersifat ijab dan wajib dilaksanakan.
3)      Nadb
Sama dengan yang dimaksud Nadb oleh Ulama ushul fiqih.
4)      Ibahah
Sama dengan yang dimaksud  oleh Ulama ushul fiqih.
5)      Karahah Tanziliyyah
Yaitu tuntutan Allah Swt kepada mukallaf untuk meninggalkan suatu pekerjaan, tetapi tuntutannya tidak bersifat memaksa. Misalnya larangan berpuasa pada hari Jum’at.
6)      Karahah Tahrimiyah
Yaitu tuntutan kepada mukallaf Allah untuk meninggalkan suatu perbuatan dengan cara memaksa, tetapi didasarkan kepada dalil yang dzanni. Apabila pekerjaan yang dituntut untuk ditinggalkan, maka ia dikenakan hukuman.
7)      Tahrim
 Yaitu tuntuntan kepada mukallaf untuk meninggalkan suatu pekerjaan secara memaksa dan didasarkan dalil yang qath’i. Misalnya larangan membunuh orang dan berbuat zina.
2.      Hukum Wad’i
Hukum wad’i adalah firman Allah Swt. yang menuntut untuk menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat atau penghalang dari sesuatu yang lain.  Macam-macam hukum wad’i adalah:
a.       Sebab
Menurut bahasa adalah sesuatu yang dapat menyampaikan kepada sesuatu yang lain. Berarti jalan yang dapat menyampaikan kepada suatu tujuan. Menurut istilah adalah suatu sifat yang dijadikan syar’i sebagai tanda adanya hukum. Contohnya firman Allah QS. Al-Isra ayat 78 : اقم الصلاة لدلوك الشمس..........
Artinya : “Dirikanlah shalat sesudah matahari tergelincir...” (QS. Al-Isra’:78)
Pada ayat tersebut, tergelincirnya shalat menjadi sebab wajibnya shalat.
b.      Syarat
Yaitu sesuatu yang berada di luar hukum syara’, tetapi keberadaan hukum syara’ bergantung padanya. Apabila syarat tidak ada, hukum tidak ada, tetapi syarat tidak mengharuskan adanya hukum syara’. Misalnya wudhu, yang merupakan syarat sah shalat. Shalat tidak dapat dilaksanakan tanpa wudhu, akan tetapi apabila seseorang berwudhu, tidak ketika melaksanakan shalat, bisa karena akan membaca Al-Qur’an.
c.       Mani’
Yaitu sifat yang keberadaannya menyebabkan tidak ada hukuman atau tidak ada sebab. Misalnya hubungan kekerabatan menyebabkan timbulnya hubungan kewarisan. Apabila seorang ayah meninggal, istri dan anak mendapatkan pembagian warisan dari harta suami atau ayah yang wafat, sesuai pembagian masing-masing. Akan tetapi, hak mewarisi ini bisa terhalang apabila anak atau istri yang membunuh suami atau ayahnya. Perbuatanmembunuh itu menjadi mani (penghalang) untuk mendapatkan pembagian warisan dari orang yang dibunuh.
d.      Shihhah
Yaitu suatu hukum yang sesuai dengan tuntutan syara’, yaitu terpenuhinya sebab, syarat, dan tidak ada mani’. Misalnya mengerjakan shalat Dzuhur setelah tergelincirnya matahari (sebab) dan telah berwudhu (syarat), dan tidak ada halangan bagi orang yang mengerjakan (tidak haid atau nifas).
e.       Bathil
Yaitu terlepasnya hukum syara’ dari ketentuan yang ditetapkan dan tidak ada akibat hukum yang ditimbulkan. Misalnya, memperjual-belikan minuman keras. Akad ini dipandang batal, karena minuman keras tidak bernilai harta dalam pandangan syara’.
f.       ‘Azimah atau Rukhsah
‘Azimah adalah hukum-hukum yang disyariatkan Allah kepada seluruh hamba-Nya sejak semula. Artinya belum ada hukum sebelum hukum itu disyari’atkan Allah, sehingga sejak disyari’atkan seluruh mukallaf wajib mengikutinya. Misalnya tentang jumlah rakaat shalat. Hukum shalat dzuhur adalah empat rakaat disebut ‘azimah. Dan apabila ada dalil lain yang menunjukkan bahwa orang tertentu boleh melaksanakan shalat dua rakaat, seperti orang musafir, maka hukum ini disebut rukhsah.

C.    Mahkum Fiih (Objek Hukum)
Untuk menyebut istilah peristiwa hukum atau objek hukum, sebagian ulama ushul fiqih menggunakan istilah mahkum fiih, karena di dalam perbuatan atau peristiwa itu adalah hukum, baik hukum wajib maupun hukum haram. Sebagian ulama lain menggunakan istilah mahkum bih, karena perbuatan mukallaf  itu disifati dengan hukum, baik bersifat yang diperintahkan maupun yang dilarang.
Menurut ulama ushul fiqih, yang dimaksud dengan mahkum fiih adalah objek hukum, yaitu perbuatan mukallaf yang terkait dengan perintah syar’i (Allah dan rasul-Nya), baik yang bersifat tuntutan mengerjakan, tuntutan meninggalkan, memilih suatu pekerjaan, dan yang bersifat syarat, sebab, halangan, azimah, rukhsah, sah serta batal. Para ulama pun sepakat, bahwa seluruh perintah syar’i itu ada objeknya, yakni perbuatan mukallaf. Dan perbuatan mukallaf tersebut ditetapkanlah suatu hukum. Seperti
واقيموا الصلاة......................( البقرة:۴۳)
Artinya: “Dan dirikanlah shalat...........”(QS. Al-Baqarah:43)
Ayat ini berkaitan dengan perbuatan orang mukallaf, yakni tuntutan untuk mengerjakan shalat, atau berkaitan dengan kewajiban mendirikan shalat. Jadi dapat diketahui bahwa objek hukum (mahkum fiih/mahkum bih) itu adalah perbuatan mukallaf.  Ulama ushul fiqih menetapkan kaidah “tidak ada taklif (pembebanan hukum) melainkan terhadap perbuatan”. Dengan alasan bahwa jika di dalam hukum syara’ tersebut mencakup wajib atau sunnah, maka perintahnya pasti jelas, artinya jika perintah itu wajib maka hubungannya dengan keharusan. Sedang sunnah tidak demikian, tapi keduanya sama-sama terlaksana dengan adanya perbuatan.[4]
 Adapun utuk memenuhi kriteria sahnya suatu taklif (pembebanan hukum) pada perbuatan mukallaf, para ahli ushul memberikan persyaratannya, sebagai berikut:
1.      Mukallaf mengetahui perbuatan yang akan dilakukan, sehingga tujuannya dapat ditangkap dengan jelas dan dapat ia laksanakan. Misalnya di dalam Al-Qur’an, diperintahkan sholat, maka seseorang dianggap tidak sah sebelum diketahui syarat-syarat, rukun, waktu dan sebagainya.
2.      Mukallaf harus mengetahui sumber taklif (dari Allah Swt.), sehingga melaksanakannya berdasarkan ketaatan bertujuan untuk Allah semata.
3.      Perbuatan harus mungkin dilaksanakan atau ditinggalkan, sehingga benar-benar dilaksanakan secara baik dan benar.[5]
Dilihat dari segi keberadaanya secara material dan syara’, mahkum fiih terdiri atas:
1.      Perbuatan yang secara material ada, tetapi tidak termasuk perbuatan yang terkait dengan syara’, seperti makan dan minum.
2.      Perbuatan yang secara material ada dan menjadi sebab adanya hukum syara’, seperti perzinaan, pencurian dan pembunuhan. Perbuatan ini menjadi sebab adanya hukum syara’, yaitu hudud dan qishas.
3.      Perbuatan secara material ada dan baru bernilai syara’ apabila memenuhi rukun dan syarat yang ditentukan, seperti shalat dan zakat.
4.      Perbuatan yang secara material ada dan diakui syara’ serta mengakibatkan adanya hukum syara’ yang lain, seperti nikah, jual beli dan sewa menyewa. Seperti pernikahan yang mengakibatkan munculnya hukum syara’ yang lain yaitu kewajiban nafkah dan mahar.
Dilihat dari segi hak yang terdapat dalam perbuatan itu, maka mahkum fiih dibagi dalam empat bentuk, yaitu:
1.      Semata-mata hak Allah, yaitu segala sesuatu yang menyangkut kepentingan dan kemaslahatan umum tanpa terkecuali. Diantaranya ibadah mahdah, ibadah yang didalamnya terkandung makna pemberian dan santunan (shodaqoh), bantuan/santunan yang bernilai ibadah (zakat), biaya/santunan yang mengandung makna kharajj (pajak bumi), hukuman secara sempurna dalam berbagai tindak pidana (dera/rajam), hukuman yang tidak sempurna (tidak ada hak waris/wasiat bagi pembunuh), hukuman yang mengandung makna ibadah (kafarat) dan hak-hak yang harus dibayarkan (harta rampasan perang).
2.      Hak hamba yang terkait dengan kepentingan pribadi seseorang. Misalny aganti rugi barang yang rusak.
3.      Kompromi antara hak Allah dengan hak hamba, tetapi hak Allah lebih dominan. Misalnya qadzaf.
4.      Kompromi antara hak Allah dengan hak hamba, namun hak hamba lebih dominan. Misalnya qishah.[6]

D.    Mahkum ‘Alaih (Subjek Hukum)
Mahkum ‘alaih adalah seseorang yang perbuatannya dikenai titah Allah, yaitu mukallaf atau manusia yang menjadi obyek tuntutan hukum syara’. Ulama ushul fiqih sepakat bahwa mahkum ‘alaih  adalah seseorang yang perbuatannya dikenai khittab Allah, yang disebut mukallaf. Dari pengertian itu, maka mukallaf menurut bahasa dapat diartikan sebagai orang yang dibebani hukum, sedang menurut istilah mukallaf adalah orang yang sudah dianggap layak dan mampu bertindak hukum, baik yang berhubungan dengan perintah maupun larangan.
Seseorang baru bisa dibebani hukum, jika sudah memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1.      Harus memiliki kemampuan untuk memahami dalil taklif, baik yang bersumber dari hukum al-Qur’an dan Hadits maupun melalui orang lain.
 وَلاَ تُحَمِّلْنَا مَا لاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ   
Artinya: “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya.” (QS. Al-baqarah:286)
2.      Usianya sudah baligh dan tidak menderita penyakit yang dapat menyebabkan daya tanggapnya hilang tau terganggu. Oleh sebab itu, anak kecil dan orang gila tidak dapat dikategorikan ke dalam mukallaf.  Begitu juga dengan orang lupa, orang tidur dan mabuk.
3.      Mukallaf harus bisa menanggung beban taklif.[7] Beban taklif ada dua, yaitu:
a.       Ahliyyah Wajib
Yaitu sifat kecakapan seseorang untuk menerima hak-hak yang menjadi haknya, tetapi belum mampu untuk dibebani seluruh kewajibannya. Misalnya ia berhak menerima hibbah, apabila benda dirusak orang lain, ia mampu menerima ganti rugi.
b.      Ahliyyah Ada’
Yaitu sifat kecakapan bertindak hukum bagi seseorang yang telah dianggap sempurna untuk mempertanggungjawabkan seluruh  perbuatannya, baik positif maupun negatif. Dengan kata lain telah cakap menerima hak dan kewajiban. Misalnya jika ia memenuhi kewajiban, berhak mendapat pahala dan ia berdosa jika melanggar.[8]















BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Hakim mempunyai dua arti, pertama, pembuat hukum, yang menetapkan hukum, memunculkan sumber hukum. Kedua, yang menemukan, menjelaskan, memperkenalkan, dan menyingkap.  Menurut Ahl Sunnah wa Al-Jama’ah   bahwa pada masa sebelum Nabi Muhammad Saw., terutus menjadi rasul itu, tidak ada hakim dan tidak ada pulahukum syara’, sementara akal tidak mempunyai kemampuan untuk menemukannya. Sedangkan Mu’tazilin berpendapat bahwa yang menjadi hakim saat itu adalah Allah Swt., hanya saja akal sudah memiliki kemampuan untuk memutuskan hukum-hukum Allah Swt. jadi, yang dimaksud  hakim adalah Allah Swt.
Hukum sebagai kalam Allah (khithab Allah) Swt., yang menyangkut perbuatan orang dewasa dan berakal sehat, baik bersifat imperatif, fakultatif atau menempatkan sesuatu sebagai sebab, syarat dan penghalang. Hukum terbagi dua, yaitu hukum taklifi, hukum yang menuntut manusia untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu atau memilih antara berbuat dan meninggalkan (ijab, nadb, ibahah, karahah, tahrim dan iftiradh) dan hukum wad’i, hukum yang menuntut untuk menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat atau penghalang dari sesuatu yang lain (sebab, syarat, mani’, shahikhah, bathil, ‘azimah dan rukhshah).
Menurut ulama ushul fiqih, yang dimaksud dengan mahkum fiih adalah objek hukum, yaitu perbuatan mukallaf yang terkait dengan perintah syar’i (Allah dan rasul-Nya), baik yang bersifat tuntutan mengerjakan, tuntutan meninggalkan, memilih suatu pekerjaan, dan yang bersifat syarat, sebab, halangan, azimah, rukhsah, sah serta batal. Para ulama pun sepakat, bahwa seluruh perintah syar’i itu ada objeknya, yakni perbuatan mukallaf. Dengan syarat seorang mukallaf mengetahui perbuatan yang akan dilakukan, sumber-sumber taklif, dan dilaksanakan dengan benar.
Mahkum ‘alaih adalah seseorang yang perbuatannya dikenai titah Allah, yaitu mukallaf atau manusia yang menjadi obyek tuntutan hukum syara’. Ulama ushul fiqih sepakat bahwa mahkum ‘alaih  adalah seseorang yang perbuatannya dikenai khittab Allah, yang disebut mukallaf. Seorang mukallaf memiliki kemampuan untuk memahami dalil taklif, usianya baligh, dan mampu menanggung beban taklif (wajib idan ada’).




















DAFTAR PUSTAKA

Syafe’i, Rahmat, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung: Pustaka Setia, 2010.
Zein, Muhammad Ma’shum, Ilmu Ushul Fiqih, Jombang: Darul Hikmah, 2008.





[1] Syafe’i, Rahmat, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hlm. 345.
[2] Zein, Muhammad Ma’shum, Ilmu Ushul Fiqih, (Jombang: Darul Hikmah, 2008), hlm. 164.
[3] Ibid., hlm. 165.
[4] Ibid., hlm. 167.
[5] Syafe’i, Rahmat, Ilmu Ushul Fiqih..., hlm. 320-321.
[6] Ibid., hlm. 331-332.
[7] Zein, Muhammad Ma’shum, Ilmu Ushul Fiqih..., hlm. 169-170.
[8] Syafe’i, Rahmat, Ilmu Ushul Fiqih..., hlm. 340-341. 

Komentar

  1. Alisia Casino - Jordan Sports
    Alisia Casino offers a full casino experience. air jordan 18 retro red suede clearance The main focus is the air jordan 18 retro red from me online air jordan 18 retro yellow online free shipping casino in which you can air jordan 18 stockx online play slot machines for free, get air jordan 18 retro red suede no download required!

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Smt 1 Psikologi Umum gejala Campuran

GEJALA CAMPURAN (PERHATIAN, KELELAHAN, SUGESTI DAN KELUPAAN) Paper Ini Disusun Guna Memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah : Psikologi Umum Dosen Pengampu : Akhid Lutfian, S.Pd, M.Pd Disusun Oleh (Kelompok 15) : Akmal Maulana Subchi Kun Amiina Pariyati Semester 1B PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM JURUSAN TARBIYAH SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NAHDLATUL ULAMA PURWOREJO 2015 PENDAHULUAN LATAR BELAKANG Berbicara tentang jiwa, terlebih dahulu kita harus dapat membedakan antara nyawa dan jiwa. Dimana nyawa adalah daya jasmanilah yang adanya tergantung pada hidup jasmani yaitu perbuatan yang ditimbulkan oleh proses belajar, misalnya insting, refleks dan nafsu. Sedangkan jiwa adalah daya hidup rohaniah yang menjadi penggerak dan penyalur bagi sekalian perbuatan pribadi. Pada umumnya manusia tak mungkin lepas dari kondisi lingkungan. Tanpa disadari kondisi lingkungan tersebut dapat mengakibatkan pergeseran atau terjadinya kejiwaan dan apabila manusi...

Smt 1 Al-Qur'an Jadal

BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Hakikat-hakikat yang sudah ada jelas nampak   dan   nyata   telah   dapat   disentuh   manusia,   dibeberkan   oleh   bukti-bukti   alam   dan   tidak   mememrlukan   lagi   argument lain untuk menetapkan   dalil   atas   kebenarannya. Namun   demikian, kesombongan   seringkali   mendorong   seseorang   untuk membangkitkan   keraguaan dan mengacu hakikat   tersebut   dengan   keracunan yang   dibungkus   dengan baju   kebenaran   serta   dihiasi   dengan cermin   akal.   Usaha   demikiaan   perlu    dihadapi dengan    hujjah agar   hakikat-hakikat   tersebut   mendapatkan   pengakuan   yang    semestinya,   dipercayai   atau malah   diingkari. Al-Qur an,    seru...